RESUME FESTIVAL KOTA MASA DEPAN II: URBANISME WARGA
16 – 30 JANUARI 2016-03-14
Beberapa waktu lalu Pekakota didukung Rujak Center for Urban Studies Jakarta dan Ford Foundation mengadakan Festival Kota Masa Depan II : Urbanisme Warga yang melibatkan 9 komunitas dari berbagai kota di Indonesia. Mengingat isu-isu yang dibahas cukup relevan dengan persoalan perkotaan kekinian, Propaganda Hysteria akan menyajikan tulisan yang berisi ringkasan dan beberapa pokok pikiran serta kegiatan selama dua minggu tersebut.
(sebagai informasi tulisan ini disajikan secara berurutan waktu)
Urbanisme Warga, Masyarakat Sebagai Subyek
Kamis, 21 Januari 2016
15.00 – 17.30 WIB
Peningkatan laju urbanisasi di berbagai kota di Indonesia membuat pertanyaan akan proses urbanisasi yang adil, inklusif dan lestari muncul ke permukaan. Keragaman dinamika di masing-masing kota di Indonesia membuat pendekatan inklusif berbasis pengetahuan warga kota tersebut menjadi kunci terwujudnya kota yang adil dan lestari. Melalui proses produksi pengetahuan bersama, Urbanisme Warga fokus pada peran warga sebagai agen perubahan.
Memberdayakan warga berarti juga meningkatkan kemampuannya dalam mengajak aktor-aktor lain, sesama warga serta politisi, birokrat, teknokrat dan professional teknis untuk bersama mewarnai kota. Disiplin yang perlu dipelihara dalam Urbanisme Warga adalah tidak ditekankan pada penilaian capaian akhir program ini, namun pada proses keterlibatan warga di masing-masing kota yang berpartisipasi yang akan mengubah kota.
Rujak Center for Urban Studies (Jakarta) bersama 8 pegiat kota melakukan kegiatan untuk mendorong produksi bersama pengetahuan perkotaan dan memanfaatkannya bagi perubahan kebijakan perkotaan. Kota-kota yang terpilih di antaranya adalah Aceh, Surabaya, Pontianak, Semarang, Bandung, Surakarta, Bogor dan Tangerang Selatan. Kota-kota tersebut diwakili oleh organisasi, komunitas, kelompok masyarakat, komunitas, maupun akademisi.
Mereka yakni International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS- Aceh), sebuah lembaga penelitian yang bernaung di bawah tiga universitas, C2O (Surabaya), perpustakaan dan laboratorium kreatif yang banyak mendokumentasi isu kota. Lalu ada Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR-Pontianak) dengan background sebagai sebuah kelembagaan sumber daya yang memilih strategi penguatan masyarakat marjinal melalui media dan jaringan informasi, Hysteria (Semarang) yakni kelompok seniman hingga anak-anak muda yang melakukan kegiatan bersifat kritis tentang kondisi masyarakat. Kemudian ada Gress Institute (Bandung), organisasi yang berfokus pada isu-isu lingkungan, Kampungnesia (Surakarta) sebagai akademisi yang terdiri dari dosen Sosiologi dan Arsitektur di Universitas Sebelas Maret dalam mengembangkan isu perkotaan, Kampoeng Bogor (Bogor) dengan kumpulan anak muda yang mengangkat isu heritage (pusaka budaya). Selain itu hadir pula Design As Generator dan LabTanya (Tangsel) dengan kantor arsitek yang memanfaatkan praktek arsitekturnya untuk gerakan lingkungan, serta Rujak Center for Urban Studies (Jakarta) sebagai sekretariat kegiatan Urbanisme Warga yang mencoba untuk mewadahi ide atau gagasan masyarakat untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan perkotaaan sekaligus fasilitator pusat Urbanisme Warga.
Dalam inisiasi Urbanisme Warga berarti warga memiliki hak untuk mengembangkan dan menemukan solusi untuk menyelesaikan persoalan wilayahnya. Warga turut memiliki andil dalam setiap keputusan dan kebijakan. Hal ini dapat dilihat pada fenomena perkembangan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi yang semakin kencang naik ke atas maka akan berimbas pula pada urbanisasi yang semakin tinggi di wilayah perkotaan. Tidak sekedar orang berpindah ke kota, namun urbanisasi secara umum merupakan perubahan desa menjadi kota. Situasi di mana penduduk perkotaan yang meningkat harus diimbangi dengan adanya peningkatan peran masyarakat juga dalam membentuk perkotaan. Bukan hanya membangun, namun ikut merencanakan pembangunan di mana tiap-tiap orang mempunyai peran untuk berkontribusi.
Keberadaan Rujak Center for Urban Studies sebagai pusat kajian perkotaan sendiri bukan berada pada posisi lembaga yang merencanakan kota, namun menekankan pada kajian perkotaan. Hal ini berdasarkan pada banyaknya perencanaan sebuah kota tapi minim akan kajian dan pengetahuan kota tersebut. Seperti terlihat pada proses normalisasi sungai di Jakarta, di mana kegiatan itu telah dikritisi puluhan tahun lalu padahal naturalilsai sungai lebih diperlukan. Kesenjangan antara pengetahuan dan kebijakan inilah yang perlu diantisipasi, di mana negara memiliki kecenderungan dalam menyeragamkan program bukan berdasarkan kebutuhan. Seperti Urbanisme Warga yang bertujuan untuk memperumit pembangunan, dalam artian positif adalah memperkaya pengetahuan pembangunan dan bukan penyeragaman pembangunan.
Di samping itu Urbanisme Warga membuat sesuatu yang berguna untuk kota sesuai dengan kebutuhan kota yang beragam dengan menggunakan berbagai pendekatan, di mana pemerintah bisa memberikan wadah bagi masyarakat dan membangun inisiatif-inisiatif yang beragam dari warga. Inisiatif warga menjadi penting dalam perencanaan pembangunan kota dan hal tersebut dapat muncul dengan atau tanpa peranan pemerintah. Warga memproduksi pengetahuan tentang dirinya sendiri dan di sisi lain memberdayakan sendiri kemampuannya untuk melakukan perubahan. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Hysteria merupakan hal penting bagi Semarang. Sejak 2004 hysteria telah memulai kegiatan Urbanisme Warga bersama masyarakat lokal khususnya dengan pendekatan seni dan budaya. Sementara komunitas C2O menginisiasi kegiatan perpustakaan kota dan berhasil membangun embrio jejaring Urbanisme Warga di Surabaya.
Terdapat beberapa hal dalam program pelaksanaan Urbanisme Warga yang mampu memberikan dorongan bagi masyarakat yakni, pertama adalah memproduksi pengetahuan. Program yang bertujuan memproduksi pengetahuan dan mereproduksi inisiatif, dengan kata lain tidak hanya menunggu apa yang dibangun dari warga akan disambut oleh pemerintah, namun bagaimana warga mampu dengan sendirinya menciptakan pengetahuan tanpa harus menunggu respon dari pemerintah. Seperti yang terjadi dalam beberapa kasus pembangunan bukan memperkaya pembangunan yang ada, namun justru menggantikan pembangunan yang ada. Di sinilah Urbanisme Warga merujuk untuk dapat memperkaya pembangunan yang ada melalui inisiatif-inisiatif dari warga, melalui pengetahuan dan contoh-contoh inisiatif sebagai penggerak Urbanisme Warga. Pendekatan memproduksi pengetahuan adalah membuat dan menyebarkan pengetahuan tanpa memberikan jarak terhadap perencana dan pelaksanan dalam proses produksi pengetahuan tersebut. Yang kedua, dalam Urbanisme Warga, masyarakat didorong untuk menggali gagasan yang berasal dari bawah. Serta ketiga adalah supaya setap hal yang datang dari masayrakat disambut oleh pemerintah, bukan untuk saling mengganti tapi saling memperkaya dan saling melengkapi.
Urbanisme Warga memiliki andil dan mampu memberikan sumbangsih terhadap kota. Saling memperkaya, melengkapi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam pembangunan kota seperti pada proses yang telah terjadi di mana dulunya kota-kota dibangun mendekati sumber mata air dan keadaan hari ini sumber mata air dengan pemukiman semakin jauh, seperti Jakarta dengan jarak hingga 120 km dari waduk Jatiluhur. Itu menandakan banyak sekali kesalahan dalam pembangunan kota, seperti pertama adalah kebiasaan menyederhanakan masalah, dalam artian malas. Segala sesuatu menjadi dibuat sederhana dan tidak ambil repot. Kedua adalah keterbatasan pengetahuan pemerintah. Begitupula pada keterbatasannya pengetahuan pada para konsultan. Hingga keempat adalah adanya kepentingan pihak tertentu. Ada banyaknya masalah, bagaimana kita dapat mempengaruhi pemangku kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam mengurus kota.
Seperti apa yang telah disampaikan teman-teman Koalisi Pejalan Kaki Kota Semarang yang ingin mewujudkan kota humanis dengan berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum. Banyak kegiatan yang dilakukan koalisi pejalan kaki ini untuk menggerakkan masyarakat, namun pemerintah belum memberikan tanggapan yang lebih. Salah satunya, pengajuan untuk pembuatant trotoar, tetapi pemerintah tidak merespon baik. Contoh keadaan-keadaan seperti itulah yang terjadi di banyak kota, baik Semarang, Jakarta maupun kota lainnya. Namun hal tersebut dapat diambil beberapa asumsi yaitu kurangnya pengetahuan pemerintah serta masalah keuntungan ekonomi menjadi alasan mengapa hingga hari ini tidak ada respon baik dari pemerintah atas permasalahan tersebut. (disarikan dari pengantar Direktur RCUS Marco Kusumawijaya dan tanggapannya atas forum perkenalan Urbanisme Warga di Semarang- Tim FKMD II)