Oleh: Widyanuari Eko Putra
pekakota.or.id – Bagi publik Semarang, mendengar kata Bustaman, imajinasi akan terbawa pada goda aroma kambing yang khas. Ya, kampung Bustaman yang terletak di jalan MT Haryono Semarang adalah daerah yang terkenal dengan produksi dan pengolahan kambing. Kampung ini menjadi rujukan bagi para pedagang kambing dan olahannya. Mayoritas masyarakat di kampung ini bergantung pada kerja produksi berhubungan dengan kambing. Ada yang khusus menjual kambing hidup, ada pula yang menyajikan dagangan dalam bentuk masakan olahan. Gule Bustaman adalah kuliner khas kampung ini.
Suatu kali saya menyusuri gang sempit nan sumpek di kampung ini. Ada pemandangan menarik. Sepanjang jalan sempit itu ternyata banyak saya temui “warung mini”. Saya menghampiri warung paling pertama. Tengoklah “lapak mini” milik Nur Hidayati (40) yang terletak di gang Bustaman, kira-kira 50 meter dari pintu gang arah Jl. MT Haryono. Luasnya kira-kira 2 x 1 meter. Warung ini semula beranda rumah yang disulap menjadi warung. Datang ke warung ini, Anda bakal tergiur dengan menu yang disajikan oleh Bu Nur ini. Meski masih menggunakan bahan tambahan daging kambing, Bu Nur menyajikan kolaborasi nasi goreng kambing, serta beberapa olahan seperti bestik sapi, rempelo ati, brutu (anus kambing), hingga daging sapi. Warung Bu Nur buka dari pukul 16.00 – 22.00 malam. Omset kotor rata-rata Rp250.000,00 per hari. Sebelumnya, Bu Nur mengaku sempat berjualan sate dan gulai kambing di daerah Citarum warisan orang tuanya sejak tahun 1990-an. Namun akibat proyek peleberan jalan, Bu Nur terpaksa pindah dan mengganti menu jualannya dengan nasi goreng kambing seta aneka bestik.
Keputusan untuk tidak berdagang olahan kambing juga dilakoni oleh Wahyuni (40 tahun) asli warga Bustaman. Lokasinnya tidak jauh dari lapak Nur Hidayati. Menurut Wahyuni, berjualan olahan kambing di Bustaman justru tidak laku. Karena itulah sejal 5 tahun terakhir ia mengakali dengan menyajikan nasi rames, ayam goreng dan aneka lauk. Wahyuni menjaja dagangannya di tengah gang sempit karena dekat dengan rumah dan tempatnya strategis. “Berjualan di sini lumayan laris, per hari bisa dapet untung seratus”, tukas Wahyuni sambil melayani pembeli. Tak mengherankan jika ada kendaraan (motor) yang akan melintas, pengendara harus berhati-hati agar tidak menyenggol lapak dagangan Wahyuni. Meski kondisi gang sempit, ditambah dengan lapak jualan, warga sekitar merasa tidak terganggu. Begitu pula saat saya mencoba mengorek informasi lebih detil perihal warung-warung tersebut. Saya mesti berulang-kali mengganti posisi duduk karena banyak masyarakat berlalu-lalang. Apalagi saat itu turun hujan. Berulang kali saya terciprat air hujan hingga tas pun basah. Maklum saja, warung mini ini hanya menggunakan terpal yang diikat di tembok rumah warga, dan ditopang dengan bambu yang sudah lumayan lapuk.
Berbeda dengan Nur Hidayati dan Wahyuni, Romanah (44 tahun) mengaku lebih memilih berjualan keliling di sekitar pasar Johar. Romanah adalah warga asli Bustaman namun tidak berjualan kambing. Ia lebih memilih menjajakan jajanan di depan musola Bustaman dan pada sore harinya menjajakan jualannya ke sekitaran pasar Johar. Romanah menjual jajanan pasar seperti bubur, kolak, dan aneka gorengan. “Jualan kambing sudah banyak, jualan itu yang belum ada”, tegas Romanah penuh semangat saat membungkus dagangannya sebelum berkeliling. Pilihan Romanah barangkali sangat tepat. Buktinya dari usahanya ini, Romanah mengaku mengantongi laba bersih Rp50.000,00 per hari. Kesibukan berjualan keliling ini sudah ditelateninya selama 20 tahun. Hal yang membuat dagangan Romanah tetap laku karena harganya murah dan rasanya enak. Kualitas makanan dan harga yang terjangkau membuat pelanggan setia Romanah setia membeli dagangannya. Di tempat ini Romanah serasa mendapat hoki karena laris dan sering dilewati warga dan anak-anak. Romanah pun tak berniat untuk pindah ke tempat lain. Hujan, panas, dan kesemrawutan lalu lalang warga tidak mengendurkan semangatnya.
Keberadaan warung mini di kampung Bustaman menunjukan gairah perekonomian warga. Warung tanpa fasilitas memadai ini barangkali akan sangat mengganggu pejalan kaki. Namun, kesadaran masyarakat untuk saling menopang kebutuhan ekonomi warganya patut untuk kita hargai. Beruntung pula tidak ada retribusi dari pemerintah yang memberatkan mereka karena sebagian jalan digunakan untuk berjualan warga. Sebaliknya, pemerintah sebaiknya memberi bantuan fasilitas bagi warung mini tersebut.
Menyusuri lorong di kampung Bustaman membawa saya pada sebuah pandangan lain. Persinggahan di beberapa warung mini membuat saya takjub. Meski berada di gang sempit, dan jarak satu warung dengan lainnya saling berdekatan, tidak ada konflik di sana. Tiap dagangan tersebut sama-sama laris. Menurut Nur Hidayati, warga di kampung Bustaman malas untuk memasak. Akhirnya banyak warga yang lebih memilih membeli ke warung-warung “mini” tersebut. Hal ini bisa dimaklumi. Barangkali karena masing-masing warga memiliki kesibukan dalam mengurusi produksi kambing. Warung mini di sepanjang gang Bustaman adalah sisi yang tak bisa dipungkiri perlu mendapat perhatian. Kondisi kampung yang “terlanjur” sempit dan padat bukan alasan untuk tidak menggali potensi dan keberagaman kampung tersebut. Satu hal yang pasti, di sentra kambing, berjualan olahan kambing ternyata tidak sepenuhnya menguntungkan. Nur Hidayati, Romanah, dan Wahyuni-lah contohnya. (2013)