Warisan Itu Berwujud Profesi: Berdagang Kambing

Warisan Itu Berwujud Profesi: Berdagang Kambing

IMG_2036

Picture 1 of 5

Oleh: Widyanuari Eko Putra

pekakota.or.id – Tidak ada data valid perihal kapan pertama kali agenda mengurusi jual-beli kambing dilakukan. Mereka hanya meyakini bahwa tradisi berjualan kambing sudah ada sejak mereka lahir. Tidak terlalu penting bagi mereka untuk tahu kapan dan siapa yang pertama kali menginisiasi untuk menghidupi diri lewat bisnis kambing. Yang mereka tahu, di kampung mereka, Bustaman, kambing adalah warisan para sesepuh. Mereka hanya melanjutkan, meneruskan. Meski banyak yang kandas dan tidak lagi melanjutkan usaha turunan itu. Juga tidak sedikit masyarakat yang masih setia berjualan kambing, ataupun bergelut dengan dunia ke-kambing-an.

Ingatan Choiri Bukhoiri (68) masih begitu jelas. Pedagang kambing yang bisa dikatakan sesepuh di daerah Bustaman. Saat itu sekitar tahun 1960-an, setiap hari Choiri memotong kambing kira-kira 80 ekor per hari, kemudian disetorkan ke para pedagang olahan kambing. Masa itu adalah masa dimana jualan kambing menjadi bisnis paling menjanjikan. Perjalanan hidup tak bisa dilepaskan dari usaha penjagalan-penjualan kambing. Choiri tidak memulai usaha ini dari nol. Ia hanya meneruskan, tepatnya mewariskan usaha sang ayah yang juga seorang jagal kambing. Bahkan, Choiri mengaku, kakeknya juga seorang jagal kambing. Bisnis warisan keluarga ini akhirnyalah yang membuat Choiri mampu menghidupi diri dan keluarganya.

Ada kisah dan kenangan yang mengiringi perjalanan Choiri saat menjadi pedagang kambing. Tidak ada yang menduga jika menjadi jagal kambing sanggup mengantarkannya merasakan dinginnya lantai penjara. Choiri nampak haru sekaligus merasa kejadian itu lucu mengenang masa dimana ia tertangkap basah memotong hewan di rumah dan ditahan oleh pihak Belanda (pemerintah?). Maklum saja, ada peraturan yang mewajibkan bagi tukang jagal kambing harus memotong kambingnya di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) resmi milik pemerintah. RPH saat itu bertempat di daerah Kabluk (saat ini di daerah Makro, Kabluk). Choiri mengaku lebih memilih memotong kambing di rumah karena lebih murah. Jarak antara kampung Bustaman dan Kabluk lumayan jauh, sehingga jika memotong hewan di sana memerlukan biaya tambahan untuk transportasi dan biaya pemotongan. Hal ini diperparah dengan minimnya angkutan. Becak, sepeda, dan gerobak tidak terlalu banyak yang punya. Akibatnya, Choiri sempat mendekam selama dua minggu di penjara Bulu.

Kisah yang sama juga dituturkan oleh Haji Toni Wibisono (54 th). Toni sudah menekuni usaha pemotongan kambing sejak 36 tahun silam. Masa-masa di mana ada pelarangan memotong kambing secara perorangan adalah masa yang menyulitkan bagi penjual kambing. Setiap hari Haji Toni memotong ada 30-40 ekor kambing. Namun masa itu akhirnya berlalu semenjak ada RPH yang dibangun di kampung Bustaman. Meski tetap harus mengisi retribusi pemotongan hewan, Haji Toni tidak keberatan karena selain tempatnya dekat juga lebih murah.

Perkembangan penjualan kambing menurut Toni mengalami pergeseran selera kambing. Kini pembeli lebih menginginkan kambing usia 3 – 9 bulan dengan berat 10 – 15 kg, dengan alasan dagingnya empuk dan lebih nikmat. Padahal, dulu Toni menjual kambing dengan berat rata-rata mendekati 50 kg. Alhasil, pendapatan dari jualan kambing menjadi menurun. Hal tersebut juga diamini Choiri. Menurutnya, pergeseran selera kambing bermula dari usaha para penjual gulai yang ingin menarik minat pembeli dengan melabeli jualannya dengan jargon “kambing muda”.

Menjadi penjual kambing adalah tugas dan tradisi dalam keluarga. menurut Choiri dan Toni, ayah dan kakeknya, semua penjagal kambing. Ingatan itu masih jelas di benak Toni. Tepatnya ketika Toni menginjak masa-masa sekolah dasar. Toni kerap diajak sang ayah berkeliling ke daerah Wonosobo, Sukorejo, hingga Temanggung untuk belanja kambing. Kenangan dan pengalaman diajak sang ayah berkeliling mencari kambing, yaitu dengan mendatangi pasar pasaran (pasar yang ramai saat pasaran seperti seperti paing, wage, kliwon, dst), memberi bekal yang melimpah bagi Haji Toni untuk membuka bisnis itu sendiri. Hingga kini, berkat usaha kambing, Toni sanggup menunaikan haji serta menghidupi keluarganya secara berkecukupan. Sedangkan menurut Choiri yang berjualan kambing sejak tahun 1960-an, sulit bagi orang yang sudah terlanjur bergelut dengan usaha kambing untuk pindah ke jenis pekerjaan yang lain. Hal itu karena tidak sedikit pedagang kambing gulung tikar di Bustaman. Choiri berharap, geliat perdagangan kambing semakin membaik dan memberi peningkatan pendapatan bagi warga di Bustaman.

Prestasi yang diraih Toni dan Choiri sebagai penjual Kambing adalah beberapa contoh pedagang kambing di yang turut serta mengawal perjalanan pedagang kambing di Bustaman. Mereka adalah saksi, sekaligus pelaku sejarah perdagangan kambing yang mengantar Bustaman menjadi sentra kambing di Semarang. [2013

Facebooktwitter

Leave a reply