Rumah Pemotongan Hewan

Rumah Pemotongan Hewan

Oleh: Rizki Kurnia

Kambing memang sudah melekat pada Kampung Bustaman, sudah puluhan tahun masyarakat sekitar Bustaman menjadikan kambing sebagai mata pencaharian. Di masa lalu banyak penduduk Bustaman yang curi-curi untuk memotong kambing di rumah masing-masing, karena takut dihukum jika ketahuan.

Hj. Rukini merupakan satu pesohor juragan kambing saat itu mempunyai sebuah gudang yang ingin dijual dan akhirnya dibuat menjadi Rumah Pemotongan Hewan (RPH). “Dulu RPH ada di Kabluk (Makro-ed) kemudian dijual di masa Walikota Imam Suparto, kemudian dibelilah tanah di Penggaron dan di Bustaman. Saat itu masih berupa gudang dan ditawarkan oleh Pak Choirin sebagai RW. Sekitar tahun 1990an saya masih di Kabluk jadi tidak begitu mengetahui prosesnya,” kata Sugiono salah satu pengurus harian RPH saat ini.

12-jalan tikus-RPH (1)

Kabluk dijual saat masa kepemimpinan RPH ada di tangan Alm. Harjono kemudian dipindah ke Penggaron dan Bustaman. Bustaman khusus mengurus kambing, sedangkan RPH Penggaron melayani penyembelihan semua jenis binatang dari ayam hingga sapi. Dulu Sugiono termasuk dalam sususnan pengurus RPH Kabluk di bagian kebersihan. Sugiono sudah bekerja di bagian ini sejak tahun 1975 dan dipindah di RPH Bustaman sekitar tahun 1992.

Mulanya Sugiono hanya bertugas sebagai pengumpul sedangkan penagihnya H. Toni. “Karena ada kebijakan dari pusat sekarang saya sendiri yang menagih retribusi ke para juragan kambing, dan melapor ke RPH Penggaron,” imbuh Sugiono. Biaya retribusinya mulai dari Rp 1500,- hingga Rp 2000,- dan digunakan sebagai retribusi pemotongan kambing di RPH Bustaman. RPH mulai beroperasi pukul 03.00 hingga 09.00 dan mempunyai 2 pengurus harian yaitu Sugiono dan Santoso. Pelaporan dilakukan stiap 10 hari sekali. Biasanya pemasukan setiap 10 hari yakni Rp 550 ribu hingga Rp 600 ribu tergantung banyak sedikitnya kambing yang disembelih di RPH.

“Pada tahun 2010 masih banyak orang di Bustaman yang menjadi juragan kambing. Saat itu ada Khumaerun, Rechan, Wakhid, Yusuf, Toni, Choirin dan Ali. Sekarang banyak yang gulung tikar karena harga kambing yang sangat mahal dan banyak yang merugi. Saat ini tersisa 3 juragan kambing yakni H. Toni, Pak Yusuf dan Pak Wakhid, namun Pak Wakhid ambil dari H. Toni,” tutur Sugiono.

Untuk masalah kesehatan kambing terdapat seorang mantri dari dinas peternakan yaitu Bagio yang tiap pagi datang ke RPH sekitar pukul 04.00 untuk mengecek kesehatan kambing di RPH Bustaman. Setiap kambing yang sudah disembelih diperiksa bagian bagian dalamnya seperti bagian paru-parunya atau hati, jika ada yang sakit dibuang dan tidak boleh dipasarkan. Untuk bagian kebersihan RPH diserahkan pada Santoso. Biasanya dilakukan pembersihan RPH tiap 3-4 hari sekali. Ada 2 septic tank untuk membersihkan limbah yang berasal dari kotoran kambing. Kotoran itu di buang di got-got dan limbah yang cair dialirkan ke sungai Gang Lombok. Limbah yang mengapung diambil pake irus dan dibuang menggunakan gerobak oleh Santoso ke kontainer di Gang Lombok.

ntuk juragan kambing yang membayar Rp 2000,- tersebut harap maklum untuk tidak mendapatkan banyak fasilitas karena fasilitas yang didapatkan hanya listrik (penerangan), air dan kandang serta sebuah gerobak kecil milik RPH. Sarananya pun tergerus zaman, atap rusak sebabkan bocor saat hujan dan fasilitas kebersihan masih kurang memadai.
Saat ditanya mengenai pemeliharaan gedung oleh RPH pusat Sugiono mengatakan jangankan untuk pemeliharaan menyeluruh, untuk pembayaran dirinya dan Santoso, Sugiono masih merasa kurang.

“Belum lagi bayar listrik dan retribusi sampah, sekarang yang motong kambing kan berkurang dari tahun ke tahun, yang paling banyak ya Pak Toni itu kadang hingga 23 ekor,” katanya.
Mengenai perpindahan RPH Kabluk Penggaron dan Bustaman, Bagian Internal RPH Penggaron, Sukartinah menilai ada beberapa permasalahan. “Ada kendala mengenai sertifikat tanah RPH Bustaman. Asal usul didapatkannya tanah dan dana juga kurang tau kok tiba tiba didapatkan Kampung Bustaman,” katanya. Memang diakuinya pada 1995 RPH Kabluk dipindah ke Penggaron, namun soal RPH di Bustaman masih terdapat simpang siur, karena sertifikat RPH Bustaman masih milik Harjono yang dulunya pengurus RPH Kabluk. Pertimbangan lain atas dibukanya RPH Bustaman menurutnya atas perhatian pemkot Semarang terhadap kampung itu. “Mulanya Kampung Bustaman sangat kumuh, banyak kotoran hewan di sekitaran kampung, sehingga dari pemkot membantu dengan mendirikan RPH,” ujarnya. Jadi sebenarnya, keputusan membangun RPH di Bustaman itu solusi atau malah menambah permasalahan? (2013)

Facebooktwitter

Leave a reply