Oleh: Widyanuari Eko Putra
pekakota.or.id – Siapapun tidak meragukan betapa lezatnya masakan itu. Bukan sembarang gulai. Adalah gulai Bustaman yang pamornya begitu diakui oleh penyuka makanan berkolesterol tinggi ini. Tidak sulit untuk menemukan warung makan gulai khas dari kampung sempit di jalan MT. Haryono ini. Ada banyak penjaja masakan ini di Semarang. Ketenaran aroma gulai Bustaman bukan tanpa sejarah. Ada kisah dan cerita yang akhirnya menempatkan gulai Bustaman sebagai salah satu jenis kuliner yang pantas dicicipi bagi siapa pun yang berkunjung ke kota Semarang.
Seperti khalayak ketahui, Bustaman adalah salah satu kampung di Semarang yang memiliki riwayat aktifitas penjualan kambing cukup panjang. Banyak pihak mengatakan Bustaman sudah merintis tradisi penjualan kambing sejak zaman kolonial Belanda. Dari penuturan warga sekitar, terutama para sesepuh kampung, sejak era pra-kemerdekaan warga Bustaman sudah berbisnis kambing. Kampung yang namanya diambil dari nama seorang tokoh bernama Ki Bustam ini, akhirnya lekat dengan penjualan daging kambing. Namun, keberadaan penjual masakan gulai Bustaman, konon memiliki cerita yang berbeda. Dari beberapa penuturan sesepuh warga sekitar, munculnya penjual gulai Bustaman justru bukan dari asli warga Bustaman, melainkan warga pendatang.
Awal mula muncul pedagang gulai Bustaman adalah ketika para penjual daging kambing merasa kebingungan untuk mengolah jeroan kambing. Maklum saja, kesibukan mengurusi jualan kambing tidak memberi cukup waktu untuk mengurusi jeroan kambing tersebut. Inisiatif pun muncul. Para penjual daging akhirnya menyerahkan jeroan tersebut kepada para pendatang dari luar kampung Bustaman untuk diolah menjadi masakan (gulai). Konon, kesempatan berjualan ini dimanfaatkan oleh Mbah Man asli Kebumen yang kebetulan berjodoh dengan perempuan asli Bustaman. Di lain pihak, ada beberapa sumber yang juga sesepuh warga Bustaman mengatakan tidak tahu-menahu siapa yang pertama kali memperkenalkan gulai Bustaman ke khalayak. Meski bukan yang pertama, Mbah Man termasuk penjual gulai kuno yang banyak dikenang warga sekitar.
Mbah Man berjualan gulai kambing dengan cara berkeliling. Dagangan gulai diangkut menggunakan pikulan menyerupai angkringan. Sejak saat itu, Mbah Man berkeliling menjual gulai kambing ke seluruh penjuru Semarang. Dari sinilah awal mula gulai Bustaman menarik perhatian pembeli. Banyak pembeli yang ternyata merasa cocok dan tergoda dengan aroma gulai Bustaman. Merebaklah kabar tentang kelezatan gulai yang penjualannya dipikul keliling kampung di Semarang. Sejak saat itu, banyak pendatang dari luar, terutama dari Kudus dan Demak yang juga ikut mengambil daging dan jeroan dari pedagang daging Bustaman, kemudian menjualnya menggunakan nama khas gulai Bustaman. Keturunan Mbah Man juga cukup andil peran dalam merebaknya penjual gulai Bustaman di Semarang.
Selain sejarahnya, gulai Bustaman juga memiliki khas: tidak menggunakan santan dalam pembuatan kuahnya. Ciri khasnya inilah yang diwariskan hingga sekarang. Warisan gulai Bustaman merupakan warisan turun-temurun. Sehingga, rata-rata gulai Bustaman dimanapun rasanya tidak jauh berbeda. Urusan gulai sebenarnya adalah urusan “tangan.” Maksudnya, tidak semua warga Bustaman bisa meracik gulai ala Bustaman, namun yang memang cakap dalam meracik bumbu saja. Justru banyak warga pendatang malah sanggup meracik bumbu gulai dengan cita rasa Bustaman.
Sampai sekarang, pedagang gulai Bustaman juga masih menggunakan ciri khas berdagangnya yaitu secara tradisional. Tidak lagi menggunakan pikulan, penjual gulai Bustaman kini menggunakan gerobak dorong. Daging kambing gulai bustaman disajikan tanpa dipotong-potong terlebih dahulu. Daging akan dipotong berdasarkan selera pembeli yang memesan. Kini pedagang gulai Bustaman merasakan betapa sejarah gulai Bustaman berpengaruh besar dalam menarik pembeli. Publik merasa lebih tertarik pada brand gulai Bustaman ketimbang lainnya.
Tentu nama gulai Bustaman tidak akan setenar sekarang andai Mbah Mar—atau entah siapapun yang pertama kali menjajakannya—tidak menjualnya secara keliling. Peran inilah yang membawa gulai Bustaman dikenal secara luas oleh masyarakat. Meski sebenarnya ada ironisme yang kini terlanjur terjadi: bahwa mereka yang sukses mengenalkan gulai Bustaman justru bukan asli warga kampung Bustaman. Namun bukan berarti kita harus mengganti nama gulai tersebut. Bagaimanapun, gulai Bustaman sudah melekat pada sebuah kampung yang kini semakin padat dan sumpek ini. Dan kita hanya perlu melestarikannya. [2013]