Moro Pusponjolo

Moro Pusponjolo

oleh: Kristya Nugraha

pekakota.or.id – Menyusul project UGD Semarang yang sebelumnya yaitu Tugu dan Bustaman, daerah Pusponjolo (Bojong Salaman) adalah salah satu project UGD Semarang dari 6 project kampung lainnya.
Dengan memakai tagline “Moro Pusponjolo”, UGD Semarang berusaha menelusuri sejarah dari daerah ini. Pada bulan Agustus UGD Semarang memulai penggalian data dan sejarah. Dan UGD pun mendapat kesempatan untuk sedikit berbincang dengan sebagian warga, dengan bantuan bapak Kamto sebagai salah satu Ketua RW daerah Pusponjolo. UGD Semarang diarahkan menuju rumah salah satu warga, yaitu Bapak Tri selaku pembimbing Karang Taruna Pussel Community. Dengan antusias para remaja dari Pussel Community membantu proses pencarian data dan sejarah dari Kampung Pusponjolo.

DSCN1611

Pusponjolo adalah bagian kecil dari banyaknya kampung di Semarang yang memiliki nilai historis. Tidak banyak yang tahu asal usul dari mana Pusponjolo berawal, hanya dari mulut ke mulutlah para tokoh masyarakat mendengar sejarah tentang Pusponjolo.

Sejarah Pusponjolo itu berawal dari kedatangan laksamana Cheng Ho di wilayah Semarang. Karena pada masa itu daerah Pusponjolo masih berupa bibir pantai, dan para nelayan disekitar saat mereka menjala (njolo:bhasa jawa) mereka selalu menemukan bunga (puspa) di sekitar pantai. Maka daerah tersebut dinamakan Pusponjolo. Sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang daerah ini sudah berpenghuni namun hanya ada 1 orang beserta istrinya, yaitu Mbah Srimpi, beliau adalah orang pertama yang menghuni di daerah Pusponjolo hingga akhirnya beliau meninggal dan disemayamkan di daerah tersebut.

Para warga meyakini makam tersebut adalah makam beliau dan sepakat untuk menamakan area makam tersebut dengan nama Kuburan Mbapi, yaitu penggabungan dari kata Mbah Srimpi.
Dahulu warga mempunyai suatu acara khusus atau tradisi yang diadakan setiap malam suro. Acara tersebut adalah menyembelih kambing dan mengarak kepala kambing yang kemudian dibawa menuju makam Mbah Srimpi. Setelah berdoa bersama, para warga yang mengikuti acara arak-arakan makan bersama di komplek makam. Namun saat ini kegiatan itu sudah tidak dilakukan lagi oleh warga, tetapi juru kunci Makam Mbapi masih melakukan acara tersebut meskipun bukan kambing melainkan diganti dengan ayam.

Pada tahun 1988 karena daerah Pusponjolo yang begitu luas, maka pemerintah Kota Semarang membagi daerah tersebut yaitu Barusari dan Pusponjolo itu sendiri, yang dipisahkan oleh sungai Banjir Kanal Barat.
Pada tahun 1990-an, banjir bandang menyapu daerah ini dan memakan korban puluhan orang meninggal. Sebagian warga masyarakat sekitar masih menyimpan duka tentang banjir bandang tersebut.
Kuliner Khas Seperti halnya dengan daerah dan kota-kota lainnya, daerah Pusponjolo juga memiliki makanan khas, yaitu Gethuk Puspo dan makanan tersebut sekarang ini sudah hampir tidak ada seperti halnya dengan jajan pasar wajik merah putih dari daerah Pedhalangan. Mungkin karena kalah pamor dibanding makanan khas Semarang yang lain atau masyarakat Semarang sendiri yang terlalu gengsi untuk mencoba makanan khas ini.

Di akhir penggalian data, UGD Semarang sedikit menelisik tentang bangunan bersejarah di Pusponjolo, disitu terdapat sebuah bangunan peninggalan jaman Belanda yang terletak diantara pemukiman warga. Konon dulu dipakai untuk asrama putri, namun sekarang sudah tidak dipergunakan lagi meskipun masih ada beberapa keluarga yang menempati daerah tersebut. (2013)

Facebooktwitter

Leave a reply