pekakota.or.id – Tim UGD secara perlahan mulai mencari apa yang paling realistis untuk dikerjakan. Pada akhirnya kami memilih isu kampung karena kami berpikir bahwa tidak mungkin kami langsung membahas kota secara keseluruhan. Salah satu alasan yang tidak kami sadari sebelumnya tentang mengapa kami memilih kampung adalah karena kampung merupakan sebuah komunal di dalam kota yang saat ini posisinya sangat lemah dan rentan terhadap penggusuran. Kampung-kampung di Semarang juga menyimpan sejarah panjang perkembangan kota dari aspek sosial-budaya maupun fisik.
Kemudian kami mencoba menentukan, kira-kira kampung mana yang akan kami ajak untuk bekerja bersama dalam rangka menggali pengetahuan.Kriteria pemilihan kampung yang pertama menyoal tentang wilayah, yang dipilih bukanlah wilayah yang terlalu terkenal. Yang kedua mempunyai keterkaitan dengan masa lalu dan masa sekarang yang cukup kuat, dan yang terakhir aksesibilitas. Dari ketiga kriteria tersebut diusulkanlah nama-nama seperti Pekojan, Tambaklorok, dan Tugurejo. Dalam pemilihan kampung ini, kami berusaha sebisa mungkin menjaga agar tidak hanya kepentingan satu orang/kelompok dari tim saja yang terakomodasi.
MENGAPA TUGU BUSTAMAN ?
Kampung Bustaman dan Kampung Tugu pada akhirnya kami pilih karena kami merasa bahwa kedua kampung tersebut memiliki cerita penting yang seharusnya diketahui oleh warga kampung dan warga Semarang secara umum. Walaupun kisah dua kampung ini sudah diketahui oleh sebagian orang, namun banyak aspek yang menurut kami penting tetapi belum pernah dibahas.Tidak banyak yang tahu bahwa di Tugurejo ada tugu yang yang berusia ribuan tahun. Situs ini konon pernah dikunjungi oleh Raffles.
Pada tahun 1990an wilayah ini juga pernah masuk dalam isu nasional karena protes warga saat masuknya industri dan meracuni tambak mereka. Meskipun demikian Tugurejo tidak begitu didengar jika kita bandingkan wilayah-wilayah tertentu yang dipilih pemerintah Kota Semarang sebagai tanda kota, misalnya Tugumuda, Kota lama dan lain-lain. Selain itu dari beberapa anggota tim yang terlibat sempat pernah melakukan kerjasama dengan warga Tugurejo. Hal inilah yang menjadi alasan pertama Kampung Tugurejo menjadi calon yang langsung bisa diterima dibanding wilayah lainnya. Adapun Bustaman kami pilih karena alasan yang lebih sederhana lagi : kampung itu ada di salah satu gang yang menyabang dari Pekojan.
Dua kampung ini memiliki keunikan masing-masing. Jika kita berkunjung ke Tugurejo, atau biasa disebut dengan Tugu, kita bisa langsung menangkap bahwa masyarakat di kampung itu sangat dekat dengan industrialisasi. Dan mereka telah lama berjuang agar ruang-ruang di sekitar kampung mereka lebih layak ditinggali. Ironisnya, kampung ini sebenarnya memang muncul bersamaan dengan industrialisasi, yaitu ketika ada sebuah pabrik dibuka di sana. Pabrik tersebut kemudian membuat sebuah perumahan yang diperuntukkan bagi karyawannya.
Namun seiring berjaannya waktu, semakin banyak masyarakat dari luar yang meninggali daerah tersebut. Industrialisasi juga berkembang pesat, pabrik-pabrik berdiri dan cerobong asapnya mengepul mengotori udara. Menurut Mohamad Hasyim, salah seorang aktivis kampung yang rajin, tidak semua warga di kampung tersebut memiliki posisi yang sama dalam kaitannya dengan isu ini. Ada yang menolak, ada yang setuju saja, ada pula yang apatis.
Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mereka memiliki sebuah situs peninggalan pra kolonial berupa sebuah batu, yang konon menjadi pemisah antara kerajaan Padjajaran dan Mataram. Batu tersebut saat ini dalam kondisi yang tidak terawat. Hasyim dan warga sering mengadakan kerja bakti di sekitar Watu Tugu untuk menjaga kebersihan dan kelestarian situs tersebut.
Kampung kedua adalah Kampung Bustaman di Kelurahan Semarang Tengah. Banyak hal menarik dari kampung mungil yang terletak di dekat Pekojan dan Pecinan ini. Bustaman adalah kampung yang didirikan oleh Kyai Kertoboso Bustam, seorang tokoh yang cukup berpengaruh di Semarang pada masa pemerintahan Belanda, Kyai ini dulu pernah menggagalkan pemberontakan orang Cina di tahun 1700an, sehingga beliau diberi hadiah berupa beberapa bidang tanah oleh pemerintah pada masa itu. Kyai Bustam juga kita kenal sebagai eyang buyut dari Raden Saleh.
Bukan hanya itu keistimewaan dari Kampung Bustaman, kampung ini adalah kampung yang terkenal sebagai pusat pemotongan kambing. Ada sebuah Rumah Potong Hewan di tengah kampung ini sejak 10 tahun yang lalu. Namun nama Bustaman sebagai kampungnya para jagal kambing sudah tersohor jauh sebelum itu. Bukan hanya menjadi tempat pemotongan kambing, seluruh denyut kampung ini juga sedikit banyak melibatkan daging kambing. Kambing yang sudah dipotong kemudian disetor ke pedagang-pedangan besar. Beberapa dari pedagang itu juga mengambil bumbu gulai atau tengkleng yang diracik oleh ibu-ibu kampung Bustaman. Ada pula yang tugasnya membersihkan kepala dan kaki kambing. Semua memiliki tugas masing-masing dalam rantai produksi dan konsumsi kambing.
BAGAIMANA KAMI BEKERJA
Berbekal pengetahuan awal kami soal kedua tempat tersebut, kami mulai mencoba mendesain program dan metode yang paling efisien. Program di Tugu dan Bustaman ini secara keseluruhan memakan waktu 7 bulan lamanya. Prosesnya dimulai dengan serangkaian pertemuan dengan warga dan menggunakan pendekatan informal. Tiga bulan pertama tim UGD Semarang hanya keluar masuk saja kampung. Hal itu merupakan strategi untuk mendapat kepercayaan warga. Kami menghindari pertemuan formal dan kaku. Dari sanalah kami dipercaya untuk melakukan pendekatan terhadap remaja kampung yang akhirnya menjadi partner strategis untuk menggali pengetahuan akan kampungnya.
Remaja kami jadikan sebagai aktor utama dalam menjalankan metode ini karena beberapa alasan. Yang pertama tentunya karena mereka adalah kelompok warga yang masih memiliki banyak waktu dan energi. Kedua, mereka adalah warga yang sebenarnya potensial bagi kampung, namun peran mereka untuk lingkungan di sekitar mereka sendiri masih kurang. Ketiga adalah karena UGD banyak berjaringan dengan komunitas anak muda di Semarang, sehingga kami pikir dengan melibatkan remaja kampung maka transfer ide dan komunikasi bisa berjalan dengan lebih nyaman.
Rangkaian Kegiatan:
1. Workshop fasilitator
Workshop ini kami selenggarakan sebagai pendahuluan dari program di dua kampung yang bertujuan untuk memantapkan wacana dan metode mengenai pengetahuan perkotaan. Termasuk bagaimana kami bisa melakukan proses ini bersama warga, sehingga warga merasa terlibat. Workshop diadakan selama 4 hari, yaitu pada 5-8 Januari 2013. Kami mengundang Antariksa dari KUNCI Cultural Studies yang beberapa kali sudah melakukan project bersama warga kampung di Jogja, yaitu kampung Juminahan. Lalu kami juga mengajak Lilik dari Arkom (Arsitek Komunitas) untuk berbagi bagaimana mendekati warga. Workshop ini lebih pada ajang sharing dan bertukar pikiran. Setiap kota/kampung memiliki karakteristik yang berbeda sehingga pasti kebutuhan dan caranya juga akan berbeda.
2. Workshop Bustaman
Workshop ini diadakan beberapa kali selama bulan Desember 2012 – Februari 2013 dengan tema yang berbeda. Tujuan dari workshop di kampung Bustaman ini adalah untuk memberi bekal kepada remaja yang akan terlibat dalam proses penggalian pengetahuan. Workshop di Bustaman diawali dengan workshop yang diadakan oleh tim UGD sendiri, tujuannya untuk memetakan isu/tema yang ingin diangkat dari Kampung Bustaman. Workshop dilakukan kurang lebih selama 3 kali, yang pertama untuk memetakan isu, lalu untuk memetakan tokoh, dan yang ketiga memverifikasi semua tema dan tokoh tadi kepada para warga senior. Kami juga mengajak mereka untuk menyusun jadwal bersama agar proses ‘penelitian’ bisa berjalan dengan lebih sistematis dan tepat waktu.
Pada bulan Februari, kami mulai mengadakan workshop yang berkaitan dengan keahlian teknis. Oleh Mas Rukardi dari Tabloid Cempaka, para remaja diberi panduan bagimana metode wawancara yang efektif. Targetnya memang bukan menjadikan mereka seperti peneliti ilmiah, tapi tetap saja mereka harus dibekali dengan beberapa ilmu dasar. Seperti misalnya, bagaimana memilih narasumber, menyusun pertanyaan, teknik melakukan wawancara, sampai menuliskan hasil wawancara tersebut. Lalu ada juga workshop dari Mas Roy dari TV Borobudur yang mengajarkan anak-anak itu bagaimana teknik pengambilan video sebagai pendukung wawancara.
3. Workshop Tugu
Beberapa workshop yang kami adakan di Tugu antara lain adalah workshop video, teknik multi media, pengenalan tanaman, dan sablon.Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) juga sempat memberikan workshop desain kepada remaja Kampung Tugu.Workshop di Tugu sifatnya lebih kepada persiapan festival. Pada dasarnya kami mencoba membekali dan belajar bersama remaja kampung Tugu untuk mempersiapkan materi yang akan ditampilkan dalam festival kampung. Walaupun begitu proses penggalian pengetahuan yang dilakukan remaja terhadap kampungnya juga tidak dilupakan. Secara rutin, tim UGD mendampingi para remaja dalam melakukan wawancara.
4. Forum warga
Forum warga kami adakan baik secara formal maupun informal. Tujuannya adalah untuk memperkuat relasi kami dengan warga, membangun kepercayaan dan menjaga hubungan baik. Beberapa kali forum warga ini kami isi dengan acara menonton film bersama remaja, namun ada kalanya kami juga mengadakan diskusi dengan para tokoh warga.
Kedua program, baik di Tugu maupun di Bustaman ditutup dengan penyelenggaraan festival. Kami mengusahakan sebisa mungkin keterlibatan warga yang sebesar-besarnya. Kami ingin warga juga merasa memiliki, bukan hanya merasa bahwa kampungnya menjadi ‘venue’ sebuah acara. Untuk itu, kami meminta mereka untuk memberi masukan pada persiapan awal festival. Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa sebagian besar acara yang ada di festival merupakan kontribusi dari orang luar kampung. Namun setidaknya ajang tersebut membuat kami dan warga sama-sama belajar bagaimana menggali potensi dan memunculkan sebuah wacana dengan ekfetif.
Berakhirnya program di Tugurejo dan Bustaman, adalah awal dari langkah kami selanjutnya. Yaitu bagaimana kami mendisitribusikan kembali metode yang kami pelajari sehingga tak hanya menjadi pengetahuan elitis milik beberapa komunitas saja. Sesuai perencanaan ada 24 presentasi yang kami lakukan berkeliling dari kampus, kafe, kampung bahkan hingga pondok pesantren. Setelah itu kami kembali melakukan brainstorming untuk menentukan 8 objek untuk kami garap sebagai bahan distribusi metode. Hingga buku ini dalam proses penerbitan, kedelapan project itu sedang mulai kami jalankan. Lokasi/wilayah/tema yang kami sepakati adalah : Pedhalangan, Padangsari, Pleburan, Sarirejo, Bojongsalaman, Tanjung Mas, memetakan kultur anak muda, dan ‘proyek kota’ berupa penggalakan isu ‘Kota Milik Bersama’ yang akan dilakukan bersama komunitas street art. (2013)