Oleh: Prabowo Novanto
pekakota.or.id – Mbah Sum nama akrab dari Sumiyati tinggal di kampung Tegal Sari sejak tahun 1976, setelah sebelumnya tinggal di daerah mangkang Wetan. Beliau ikut dengan suaminya, bapak Mudjono (alm) bermukim di kampung Tegal Sari karena pada waktu itu di kampung Tugurejo sudah mulai banyak pabrik. Mbah Sum waktu itu membeli rumah yang ditawarkan oleh salah seorang dari kampung Tapak. Karena memang butuh akhirnya mbah Sum membelinya seharga empat puluh ribu rupiah waktu itu. Setelah satu tahun tinggal di tanah tersebut mbah Sum diminta pindah dengan alasan kalau tanah itu tanah miliki negara.
Mbah Sum tidak tahu kalau tanah yang ditingali beliau dan sembilan keluarga lain merupakan tanah negara. “katanya tanah yang saya tempati itu merupakan tanah negara mas, jadi ya saya sempat bingung karena menurut penjualnya tanah itu sah wong ada sertifikatnya.” Terang mbah Sum. Karena merasa memiliki hak atas tanah tersebut mbah Sum dan kesembilan keluarga yang lain tetap mempertahankan tanah tersebut. awalnya mbah Sum dan sembilan keluarga lainnya tetap bersikeras tidak mau pindah.
Namun karena mendapatkan intimidasi dari Sukarman, warga Tapak yang menjadi aparat hukum di wilayah tersebut, akhirnya sepuluh keluarga itu menandatangani surat sepakat pindah. “ waktu itu jam dua belas malam, mas. Tau-tau pintu rumah saya digedor-gedor, dibuka sama suami saya, lha tau-tau Sukarman ini teriak-teriak sambil mau mukul suami saya pakai kopel, saya jadi panik dan takut akhirnya saya menandatangani surat itu mas.” Ungkap mbah Sum. Isi dari surat sepakat itu adalah persetujuan pindah dengan uang ganti rugi sebesar tiga puluh ribu rupiah. Merasa tidak terima dengan perlakuan tersebut, mbah Sum lalu mendatangi kepala kelurahan Tugurejo, pak Arifin. Mendapat pengaduan dari warganya kemudian pak Arifin mengumpulkan semua orang yang terkait masalah tersebut. namun pak Arifin tidak mampu berbuat banyak karena bukti surat yang ditandatangai oleh sepuluh warga tidak bisa dielakkan lagi. Merasa kurang akhirnya mbah Sum mendatangi kantor polisi polresta Tugu ( sekarang polsek Tugu) untuk mengadukan masalah tersebut. sampai di Kantor polisi, sembilan keluarga lainnya didahulukan dan dintimidasi oleh polisi karena ternyata pihak polisi juga memiliki kepentingan pada kasus tersebut. saat tiba giliran mbah Sum, segala keterangan mbah Sum dibantah dengan pernyataan polisi bahwa mbah Sum sudah menerima uang ganti rugi atas tanah. mbah Sum balik membantah dan mengancam kalau beliau akan mengangkat kasus ini ke pengadilan. Merasa tidak bisa bertahan lagi, para polisi tersebut akhirnya memberikan tawaran kepada mbah Sum dengan memberikan ganti rugi berupa tanah di tempat lain. Melihat keadaan akhirnya mbah Sum mau menerima tawaran tersebut, beliau menempati tanah dengan luasan tiga ratus meter persegi dengan harga dua ratus sepuluh ribu rupiah.
Kemudian pada tahun 1985 mbah Sum membangun rumah di tanah yang sekarang berada di RT 02 RW III. Rumah tersebut dibangun permanen tembok, sementara rumah yang lain di sekitaran masih menggunakan bangunan semi permanen. Waktu itu akses listrik juga belum tersedia. Setelah pembangunan rumah benar-benar selesai mbah Sum dan Suaminya menempati rumah tersebut. belum lama menempati rumah baru, mulai datang orang-orang yang mencari kontrakan dan kost-an. karena melihat adanya peluang, mbah Sum menyewakan salah satu kamar di rumahnya dengan harga tiga puluh ribu rupiah untuk sebulan. Awalnya hanya tersedia dua kamar saja di Rumah mbah Sum yang bisa dikostkan. Kemudian pada tahun 1990 mbah Sum mendapat tawaran kontrak dari pt. Kualitas sebuah pabrik meubel yang waktu itu mendapatkan order besar. Mbah Sum diminta menyiapkan tiga kamar dengan nilai kontrak pada waktu itu satu juta lima ratus ribu rupiah. Tiga kamar tersebut diisi oleh tiga puluh orang yang semuanya berasal dari Jepara. Karena merasa sudah kelebihan tanggungan kemudian mbah Sum membagi jatah kost kepada beberapa tetangganya seperti ibu Habibi, Pak Jumari, dan ibu Halimah. Namun karena para pekerja pt Kualitas sudah merasa nyaman berada di rumah mbah Sum, mereka masih sering hanya sekadar mandi, dan mencuci di rumah mbah Sum waktu itu sudah mulai banyak yang tergiur dengan usaha membuka kostan. Karena melihat mbah Sum sukses, akhirnya mulai ada tetangga yang membangun kamar-kamar terpisah untuk digunakan sebagai kostan. pabrik semakin banyak yang dibangun begitu juga pendatang yang mencari kostan. Namun pada waktu itu akses air masih terbatas, karena menggunakan air yang diambil dari taman Lele melalui pipa. Mbah Sum tidak kekurangan akal untuk mengatasi masalah tersebut. Mbah Sum membuat kolam tandon air untuk menampung air agar cukup untuk memenuhi kebutuhan para penyewa. Menurut mbah Sum setiap uang yang diterima, beliau menyisihkan sebagian untuk memperbaiki dan membangun bagian-bagian yang kurang, serta sebagai dana perawatan. “punya kost-kostan itu ndak gampang mas, musti bisa mengelola uang. Kalau muternya udah salah, bisa jadi malah tombok mas.” Terang mbah Sum. seiring berjalannya waktu, usaha jasa kostan terus meningkat hasilnya, kemudian pada saat krisis moneter usaha kostan melorot karena banyak pabrik yang gulung tikar. Begitu pula usaha kost mbah Sum berangsur-angsur sepi.
Setelah reformasi usaha kostan masih saja tidak menunjukkan peningkatan. Lalu pada tahun 2002 mbah Sum malah menambah jumlah kamar, yang tadinya tiga menjadi enam. Mbah Sum menggunakan uang pensiun suaminya yang diminta mengundurkan diri oleh pt. Aneka Gas dengan alasan sakit. “karena suami saya itu bekerja dengan bagus maka pt. Aneka Gas tidak mengurangi hak pensiun suami saya pada waktu mengundurkan diri.” Terang mbah Sum menjelaskan perihal pensiun suaminya. Genap setahun setelah menambah kamar, suami mbah Sum meninggal dunia. Usaha kostan mbah Sum sudah mulai membaik, orang-orang yang bekerja di pt. Indofood, pabrik sirup, dan beberapa pabrik meubel lainnya mulai menempati kamar-kamar kostan. biasanya satu kamar diisi oleh empat orang dengan sistem sewa bayar perorang enam puluh ribu rupiah. Pada tahun 2007 dibuka pabrik pengepakan kabel mobil pt. Sami. Dengan berdirinya pabrik baru tersebut, menambah jumlah pendatang yang masuk ke desa Tugurejo. “kostan itu ga pasti mas, ada yang pindah, ada yang udah ga kerja lagi, macem-macemlah jadi ya pas pt. Sami berdiri, rata-rata yang ngisi pekerja pt. Sami mas.” Ungkap mbah Sum. pt. Sami memang merekrut banyak pekerja, namun kebanyakan orang yang bekerja pt. Sami bukan orang Semarang, bahkan warga di desa Tugurejo sedikit yang terserap ke pt. Sami. Namun di sisi lain jelas para pendatang itu membawa rejeki bagi penyedia jasa kostan.
Obrolan kami sudah mulai tersendat-sendat, karena mbah Sum sudah mulai kesulitan untuk mengingat-ingat setiap detil cerita. Saya memutuskan untuk tidak memaksa beliau bercerita. Namun di penghujung silaturahmi kami, mbah Sum meberikan satu logika yang membuat saya tercengang mengenai usaha kostan. tentang para penyewa kostan. mbah Sum kemudian memberikan permisalan, dalam satu RW. III ini terdapat delapan RT. Lalu, semisal masing-masing RT memiliki sepuluh jasa kostan dengan rata-rata tujuh kamar masing-masing kostan. harga kost memang variatif, tergantung fasilitas dan kenyamanan yang diberikan kostan. namun mbah Sum memisalkan harga sewa satu kamar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. Jika semua dikalikan kemudian dijumlahkan, dalam satu RW III mampu mengumpulkan uang sejumlah seratus empat puluh juta rupiah dalam satu bulan. Mbah Sum kemudian tersenyum lebar kemudian menyuruh saya untuk benar-benar mencari data tersebut secara riel. Data tersebut akan saya laporkan pada edisi berikutnya. (2013)