Bedhug di Kampung Randusari
Terdapat bedhug yang umurnya sudah ratusan tahun. Bedhug tersebut awalnya berada di Kampung Nongkosawit, namun anehnya ketika ditempatkan di Kampung ini, bedhug tidak bisa berbunyi meski ditabuh sekencang mungkin. Akhirnya, oleh penduduk kampung bedhug dipindah ke desa disebelahnya. Karena bedhug ini besar, membutuhkan penyangga untuk meletakkannya. Kebetulan ada pohon randu dan pohon randu itulah yang dijadikan penyangga.
Ketika penduduk desa mencoba menabuh bedhug itu, ternyata bedhug mau mengeluarkan suara. Maka, kampung ini dinamakan Randusari yang berasal dari kata “Randu” yaitu pohon randu dan “Sari” yaitu Bahasa Jawa yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi “bunyi”.
Bedhug tersebut hingga sekarang masih ada, namun dibalut dengan bedhug yang lebih besar. Perlakuan seperti ini dimaksudkan untuk melindungi bedhug tadi, namun menurut Pak Yono, bedhug ini sudah tidak terawat dan berakhir rusak.
Bendhe di Kampung Nongkosawit
Bendhe adalah alat yang terbuat dari logam, bentuknya seperti kenong (alat musik di gamelan) atau mudahnya alat yang berbunyi “dung dung” yang dibawa penjual es krim dung dung.
Bendhe ini ada karena masjid di Kampung Nongkosawit tidak memiliki bedhug (bedhug sudah dipindahkan ke Kampung Randusari). Akhirnya bendhe inilah yang dijadikan alat penanda waktu sholad. Namun, tidak hanya sampai disitu ia juga berfungsi sebagai media informasi untuk mengumpulkan penduduk yang pada akhirnya diganti dengan kentongan. Namun, bendhe tersebut masih ada hingga sekarang dan disimpan di tempat Pak RW.
Kirab Bendhe di Kampung Nongkosawit
Bendhe yang merupakan barang peninggalan tadi masih ada dan tersimpan di rumah Pak RW. Bendhe tersebut setiap bulan menjelang puasa akan diadakan ritual kirab. Yaitu membawa bendhe keliling kampung diiringi dengan jaran eblek, barongan dan segolo-golo dan tentunya diikuti seluruh penduduk kampung.
Dari kirab ini terdapat ikon-ikon venacular haritage, yaitu jaran eblek, barongan dan segolo-golo. Jaran Eblek sendiri adalah kesenian khas Nongkosawit yang dimainkan penduduk kampung. Lalu, barongan adalah pengiring Jaran Eblek yang topengnya dibuat sendiri oleh penduduk kampung. Dan Segolo-golo adalah barongsai namun berbentuk sapi. Diatasnya ditungganggi anak kampung yang berprestasi di sekolahnya. Jadi segolo-golo adalah wujud apresiasi terhadap kerja keras dan ketekunan. Dan berbentuk sapi karena sebagian penduduknya menggantungkan perekonomian dari sapi.
Pada ritual kirab juga disajikan hasil tani dan kebun masyarakat kampung. Salah satu maknan khas Kelurahan Nongko Sawit adalah nasi tedun. Nasi tedun ini merupakan salah satu makanan yang saat ini mulai jarang didapat kecuali dalam acara khusus di Nongko Sawit. Nasi tedun terdiri dari nasi putih yang diberi lauk klubanan, tempe bacem dan sambel godok yang terbuat dari parutan kelapa. Selain itu juga ada makanan yang hanya ada di daerah Nongko Sawit yaitu endok wewe. Endok wewe ini biasanya di sajikan dalam acara ritual 7 bulan atau istilahnya “midak lemah”. Terbuat dari tepung ketan yang ditengahnya berisi gula jawa. Endok wewe ini sebenarnya mirip dengan klepon, namun jika kepon berwarna hijau dan diberi kelapa diluarnya. Endok wewe ini berwarna putih sebesar telur ayam dan dimakan dengan kuah yang manis. Kuah dari endok wewe ini biasanya beraroma duren, nangka atau pandan.
Sehingga, Kirab Bendhe bukan menjadi ritual meluhurkan bendhe itu sendiri, namun menjadi wadah untuk menyebarkan pengetahuan tentang sejarah dan kekayaan kampung sehingga timbul rasa bangga dan memiliki terhadap semua itu.
Buah Jenitri
Di daerah kelurahan Nongko Sawit ini terdapat salah satu buah yang sangat jarang ditemui di Indonesia. Buah tersebut adalah buah jenitri. Buah yang biasanya terdapat di daerah India ini, bisa tumbuh dengan subur di daerah Kelurahan Nongko Sawit. Salah satu pohonnya terdapat di dekat sendang di desa Randu Sari. Buah dari pohon ini berwarna biru dan didalamnya terdapat biji yang sangat keras.
Menurut salah satu warga Kelurahan Nongko sawit, yaitu bapak Suyono, buah jenitri ini snagat berkhasiat bila digunakan sebagai gelang ataupun kalung. Bila dipakai pertama kali, buah jenitri ini akan terasa gatal dikulit, namun lama kelamaan rasa gatal tersebut akan hilang. Buah ini berguna sebagai toksin dalam tubuh. Buah jenitri ini semakin lama dipakai sebagai kalung ataupun gelang, maka bentuknya lama kelamaan akan menjadi lebih bagus dan mengkilap. Konon buah jenitri ini merupakan air mata dari dewa siwa.
Di Kelurahan Nongko Sawit sendiri, buah jenitri ini dikumpulkan oleh bapak Suyono dkk untuk membuat gelang, kalung ataupun hiasan lainnya untuk dijadikan cinderamata yang cantik dari Desa Wisata Nongko Sawit.
Air Terjun Lemah Tukung
Di Kelurahan Nongkosawit terdapat air terjun yang saat ini sedang di kembangkan oleh komunitas Kandang Gunung untuk dijadikan obyek wisata. Namnya adalah air terjun Mah Tukung. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 3 meter dengan pemandangan khas daerah pedesaan dan terdapat batu-batu kali yang menghiasi disepanjang aliran sungai. Karena air terjun ini berada di daerah yang sulit untuk dijangkau, maka komunitas Kandang Gunung saat ini sedang membuat akses jalan untuk menuju Air Terjun ini.