Merti dusun atau disebut juga “sedekah bumi”, merupakan rangkaian acara di suatu dusun sebagai simbol rasa syukur warga atas limpahan karunia-Nya. Acara tersebut biasa dimulai sejak pagi, sekitar pukul 10.00 WIB. Adapun sambutan-sambutan dari tokoh agama maupun tokoh masyarakat dusun, pertunjukkan tradisional khas Jawa; seperti mocopat, lalu dimeriahkan kembali oleh kelompok rebana, dan diakhiri pada keesokan paginya dengan pagelaran wayang kulit. Merdhi dusun sengaja dirangkai sedemikian rupa, agar tidak hanya berfungsi sebagai penyemarak acara tahunan, tetapi juga dapat memperkuat guyub warga dengan menyoroti nilai-nilai sosial, historis, dan budaya setempat.
Contohnya, merdhi dusun yang baru diselenggarakan pada hari Kamis lalu (28/09) di RT 07 RW 09, Kelurahan Sendangguwo, Tembalang. Acara tersebut turut memperingati haul Mbah Perep di Punden Guwo, sekaligus sadranan (dalam KBBI, berarti mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur; ayah, ibu, dan sebagainya, dengan membawa bunga atau sesajian). Merdi dusun juga mengundang seluruh warga di Kelurahan Sendangguwo, untuk bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala anugerah; baik dalam suka maupun duka. Acara demikian terbilang sebagai acara yang dinanti-nanti oleh warga berdasarkan perhitungan kalender Jawa. Selain diisi dengan memotong kambing, mengolah kambing menjadi kudapan yang dinikmati bersama-sama, merdhi dusun hadir sebagai wujud kearifan lokal yang masih dijaga, yakni nilai gotong royong dan kerukunan antarsesama, yang memungkinkan warga untuk dapat berkumpul, berdiskusi, dan dihibur oleh sejumlah pertunjukkan tradisional.
Menariknya, di Sendangguwo sendiri masih terlihat antusiasme warga dalam meramaikan merdhi dusun, dimana mayoritas warga setia mengikuti rangkaian acara dari awal, sampai pada pagelaran wayang kulit yang baru selesai sekitar pukul 04.30 WIB. Hal demikian tentu menjadi pemantik bagi panitia (dalam kesempatan tersebut yakni perangkat RT 07 RW 09 dan pihak Kelurahan Sendangguwo) dan segenap warga kedepannya supaya dapat terus menghadirkan merdhi dusun ditengah pasang-surut terhadap apresiasi budaya lokal. Sebagai salah satu bentuk budaya yang masih dijaga, merdhi dusun memiliki segudang potensi; pun tantangan, untuk dikembangkan dalam kerangka sosial. Acara tersebut tak luput mengajak kita untuk menikmati sebidang romantisme sejarah dan budaya masa silam, seperti kisah Gatot Kaca, Bima, dan Arjuna, maupun anomali indah seperti kisah cinta Rakai Pikatan dengan putri dari Raja Samaratungga yakni Pramodhawardani.