Perempuan Pesisir Semarang Bertahan di Tengah Krisis Ekologi dan Jeratan Rentenir

Saat penghasilan melaut semakin tak pasti, pinjaman utang kian melambung tinggi. Itulah yang dirasakan oleh sebagian keluarga nelayan di Tambakrejo, Semarang. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi cuaca yang carut marut membuat nelayan sulit untuk melaut sehingga berdampak pada pendapatan yang juga ikut menyusut. Kendati tak ada pemasukan yang terkumpul, tapi kebutuhan dapur harus tetap ngebul. Kondisi ini membuat ibu-ibu dari keluarga nelayan mengambil peran tambahan dengan bekerja serabutan untuk membantu suaminya. Banyak dari mereka memilih untuk mengolah kijing (kerang hijau), mencari cacing, hingga menjadi asisten rumah tangga demi menambal kebutuhan keluarga. Namun, saat penghasilan tak mampu menutup biaya pengeluaran, berutang menjadi pilihan yang tak terelakkan.

Gelombang Pasang, Gelombang Utang

Leni Marlina (38), salah satu perempuan pesisir Tambakrejo, merasakan kondisi getir ini setiap hari. Suaminya, Herizon Jon Kenedi (45), sudah tak sekuat dulu untuk rutin melaut. Selain faktor usia, cuaca ekstrem membuat Jon lebih sering berdiam di rumah atau hanya melaut sebentar saat cuaca sedang bersahabat. Suaminya hanya mengandalkan sisa-sisa tangkapan kecil yang tak seberapa hasilnya. Akibatnya, ibu tiga anak yang kini tengah mengandung tujuh bulan ini, menghadapi kenyataan pahit bahwa pendapatan dari hasil melaut suaminya tak lagi cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Leni pun turut menjadi penopang ekonomi tambahan bagi keluarganya.

“Anak saya tiga, perempuan semua. Yang pertama baru masuk SMA di pondok pesantren, biaya hidupnya sebulan hampir dua juta. Belum lagi adik-adiknya yang masih SD sama TK juga butuh banyak biaya,” jelas Jon. Sebagai kepala keluarga, ia mengaku kewalahan untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga hanya dari hasil melaut. “Kalau dipikirin ya mumet, nggak ketemu, tapi jalani aja,” sambungnya dengan nada pasrah di tengah tekanan hidup yang begitu susah.

Jon masih tetap melaut, “Saya kerja sendiri nggak bareng orang. Penghasilannya kadang sampai Rp100.000-150.000 per hari, tapi nggak mesti. Kalau nggak kerja sehari aja nggak bakal nutup,” katanya. Namun, ia mengakui bahwa pendapatannya tak cukup untuk membayar berbagai kebutuhan. Mulai dari biaya sekolah untuk tiga anak, makan, listrik, air, iuran jimpitan, hajatan, hingga kematian. Belum lagi sebagian pengeluarannya digunakan untuk membeli rokok hingga dua bungkus setiap hari.

Kendati penghasilan harian sang suami sering kali tak mencukupi, pilihan untuk menyerah tak pernah ada dalam kamus Leni. Ia tetap bersikeras untuk menyekolahkan ketiga anak perempuannya agar kelak bisa keluar dari lingkar kemiskinan. Bagi Leni, pendidikan anak adalah yang utama, “Uangnya buat pendidikan anak sek. Harus diirit-irit biar mereka bisa sekolah semuanya. Biaya makan juga dihemat, kalau nggak ada uang ya makan seadanya dulu sama mie instan. Baru kalau ada uang lauknya ikan.” Sebuah ironi ketika keluarga nelayan yang hidup berdampingan dengan laut tak selalu mampu membawa hasil tangkapannya ke meja makan.

Kedua anak Leni sedang makan seporsi mie instan karena himpitan ekonomi [Rizqika/PekaKota]

Tak ayal, ia juga ikut turun tangan untuk mencari pundi-pundi dengan mengupas dan mengolah kijing di depan rumahnya. Dalam satu ember besar, ia bisa mendapatkan Rp30.000-40.000. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk menambal kebutuhan harian. Namun, jika sedang terdesak tak ada pemasukan saat musim baratan berlangsung lebih panjang, Leni terpaksa berutang ke tetangga maupun rentenir seperti bank titil sebagai jalan terakhir.

Bank titil atau bank keliling sendiri merupakan jasa pinjaman informal yang tumbuh subur di wilayah kampung-kampung miskin kota. Banyak perempuan pesisir Tambakrejo bergantung pada bank titil, terutama di saat musim baratan tiba di mana periode angin kencang dan gelombang tinggi menghantam pantai utara Jawa. Mereka banyak mengambil pinjaman di bank titil karena aksesnya relatif mudah dan fleksibel. Meski bunganya terbilang cukup tinggi dan cicilannya ditarik harian.

“Kalau bank titil saya berani karena kalau lagi nggak ada uang waktu musim baratan, bisa libur dulu bayarnya. Kalau pinjaman lain, seperti Mekaar atau bank BTPN, nggak bisa libur. Harus bayar tepat waktu karena mereka nggak mau tahu,” ujar Leni. Ia pernah mengambil pinjaman dari Mekaar, tapi berhenti karena sistem tanggung renteng yang memberatkan. Begitu pula, dengan pinjaman ke bank formal juga harus menyertakan izin usaha mikro yang cukup rumit.

Namun, Jon mengaku sempat berutang ke bank formal sebesar Rp25.000.000 untuk membuka kembali usaha jasa pemancingan. Usaha ini sebelumnya digusur demi proyek tol laut Semarang-Demak tanpa diberikan kompensasi apa pun. Sayangnya, usaha baru itu tidak berkembang karena jumlah ikan yang semakin sedikit.

Kondisi ini memperlihatkan betapa dampak krisis ekologi yang diperparah dengan pembangunan ugal-ugalan di wilayah pesisir kian memperlemah ketahanan ekonomi para nelayan. Masa panen (nyarak) tidak lagi mampu menopang ekonomi mereka sehingga banyak yang terjerat utang saat musim baratan datang berkepanjangan. Artinya, musim baratan tidak hanya membawa gelombang pasang namun juga menghasilkan gelombang utang yang akan terus menerjang keluarga nelayan Tambakrejo, Semarang.

Krisis Ekologi dan Ketimpangan Gender 

Maesaroh (38), yang akrab disapa Zahro, juga menghadapi kerentanan yang berlapis. Ia harus menghidupi empat anak sekaligus menopang suaminya, Agus Supono (37), yang sempat terjerat judi online dan kerap absen sebagai penopang ekonomi keluarga. Dalam kondisi ini, Zahro mengambil alih semua peran, baik sebagai seorang ibu, istri, sekaligus pencari nafkah bagi keluarganya.

Hampir setiap hari, Zahro turun ke lumpur untuk mencari cacing laut yang dapat digunakan sebagai umpan pancing. Biasanya ia bisa mengumpulkan tiga sampai empat kaleng cacing laut dan menjualnya ke pengepul dengan harga Rp50.000 per kaleng. Namun, tahun ini penghasilannya turun drastis, “Baru tahun ini cari cacing laut susah. Cacingnya kebawa banjir, jadi banyak yang hilang. Aku harus bibit lagi dari awal. Dulu total bisa dapat Rp200.000-300.000, sekarang nggak dapat kalau segitu. Paling sekarang cuma bisa satu sampai satu setengah kaleng.”

Sebab, musim baratan yang biasanya berakhir di bulan April atau Juni menjadi mundur tak teratur. “Dulu ngecek pakai tanggalan Jawa, habis Suro biasanya air laut sudah surut. Tapi, sekarang air masih tinggi terus,” jelas Zahro. Kondisi tersebut mempersempit jam kerjanya di laut. “Kalau rob, waktu pencarian cacing di laut jadi pendek. Biasanya bisa njegur empat sampai lima jam, sekarang cuma tiga jam,” tambahnya. Saat musim baratan datang, air pasang membuat pencarian cacing jadi terhalang. Pendapatannya hilang, sementara cicilan (masih) tetap berjalan.

Zahro sedang membayar cicilan bank titil setiap hari [Rizqika/PekaKota]

“Aku kerja dari pagi sampai sore, tapi kadang aku paksain lanjut njegur di malam hari meskipun lagi badai hujan. Pernah sampai kegeret ombak juga waktu itu. Kalau nggak gitu anak-anakku mau makan apa?” seloroh Zahro. Beban fisik dan mental yang ia tanggung tak main-main, “Aku sampai kena Vertigo, sering pusing sama badan gemetaran, mikir biaya anak sekolah sama kebutuhan keluarga. Sampai kemarin hape-ku tak gadaikan buat bayar sekolah anak. Apa yang [aku] punya tak lepasin dulu buat kebutuhan keluarga, khususnya anak,” tandasnya.

Zahro berusaha keras agar anak-anaknya tetap bisa sekolah, meski tidak semuanya berhasil. Anak pertamanya harus putus sekolah, anak kedua kini duduk di bangku SMP, anak ketiga masih SD, dan si bungsu masih belum disekolahkan. Semua usaha dan pengorbanan Zahro bermuara pada satu harapan, yakni agar anak-anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik dari kedua orang tuanya.

Sayangnya krisis ekologi membuat perjuangannya semakin berat. Ia tak bisa lagi mengandalkan hasil laut karena kondisi cuaca semakin sulit diprediksi. Untuk bisa bertahan dan bisa terlepas dari tagihan utang, ia harus beralih profesi mencari penghasilan dari darat dengan bekerja serabutan sebagai asisten rumah tangga. Selain untuk membayar utang, upah hariannya digunakan untuk menambal kebutuhan domestik. Di antaranya membeli beras, lauk makanan, air galon, jajan anak, hingga bayar listrik. Ia harus memikul semua beban domestik seorang diri tanpa bantuan suami. “Punya suami, tapi kayak nggak punya suami,” tutur Zahro.

Menurut Mila Karmila, Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota sekaligus Ketua Pusat Studi Gender dari Universitas Islam Sultan Agung Semarang, beban ganda yang dipikul Zahro maupun Leni mencerminkan ketimpangan struktural yang masih mengakar kuat dalam masyarakat pesisir yang menganut sistem patriarki. “Perempuan selalu menjadi pihak yang paling terdampak dalam situasi krisis ekologi karena mereka terlekat dengan peran ganda dalam mengurus pekerjaan domestik sekaligus publik. Pembagiannya sangat tidak adil,” terang Mila seusai menjadi pembicara dalam PekaKota Forum #80 pada Sabtu malam (28/6).

Mila Karmila saat memberikan paparan dalam PekaKota Forum #80 (28/6) [Abin/Hysteria]

“Laki-laki sering merasa cukup dengan memberi uang belanja seadanya ke istri, lalu bisa tidur, merokok, dan nongkrong. Dikira uangnya cukup buat kebutuhan satu keluarga yang punya tiga sampai empat anak. Terus siapa yang menanggung kekurangannya? Ya, lagi-lagi perempuan yang harus putar otak untuk mencari dan mengatur keuangan,” lanjut Mila. Hal itu yang membuat banyak perempuan terpaksa gali lubang-tutup lubang dengan berutang. Mereka tak memiliki pilihan lain.

Kondisi ini memperlihatkan sisi paling nyata dan tidak setara dari krisis ekologi bahwa perempuan selalu menjadi pihak yang paling terdampak namun juga paling jarang terdengar suaranya. Seperti persoalan utang yang menjadi beban berlapis yang sulit dilepaskan bagi ibu-ibu dari keluarga nelayan. Namun, sering kali pengalaman mereka tidak tercatat dalam narasi besar krisis ekologi.

Minimnya Bantuan dari Pemerintah

Ironisnya, di tengah segala keterbatasan yang dihadapi oleh keluarga Zahro dan Leni, upaya dari pemerintah terasa nyaris tak berarti. Dari penuturan keduanya, keluarga mereka telah didata dan digolongkan sebagai keluarga miskin ekstrem oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang. Status itu seharusnya menjadi pintu masuk untuk mendapatkan berbagai skema bantuan sosial dari pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, kenyataannya jauh dari harapan.

Bantuan yang mereka terima sangat terbatas. Keluarga Zahro hanya mendapatkan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk salah satu anaknya. Sementara janji untuk dimasukkan sebagai penerima PKH yang sempat disampaikan oleh petugas di awal tahun belum terealisasi. Zahro mengungkap, “Kemarin sempat ada peninjauan buat PKH dari Dinsos. Sudah didaftarin, tapi nggak tahu dapatnya kapan. Sampai sekarang belum, cuma dapat PIP tok buat sekolah anak.”

Sementara itu, kondisi keluarga Leni lebih memprihatinkan. Kendati memiliki tiga anak yang semuanya masih bersekolah namun tak satu pun dari mereka menerima bantuan PIP. Ia juga belum pernah menerima bantuan PKH, meski status keluarganya juga tercatat sebagai kategori miskin ekstrem. Dari pengakuannya, ia hanya pernah mendapat bantuan sembako dua kali dalam setahun terakhir.

“Saya katanya masuk kategori miskin ekstrem dari Dinsos Semarang, tapi nggak dapat PKH. Baru dua kali ini dapat bantuan sembako, isinya beras 10 kilo, telur, sama gula, setiap tiga bulan sekali. Malah ada yang lebih mampu dari saya dapat bantuan PKH. Terus saya juga nggak dapat bantuan PIP padahal saya punya tiga anak yang masih sekolah semua,” ungkapnya kecewa.

Kekecewaan Leni bukan tanpa alasan karena pendapatan harian keluarganya dianggap masuk ke dalam kategori miskin ekstrem, kondisi rumahnya juga sesuai dengan survei di lapangan, serta adanya tanggungan anak-anak sekolah yang seharusnya cukup menjadi indikator kelayakan. Namun, entah mengapa, nama mereka tak pernah tercatat dalam daftar penerima bantuan sosial dari pemerintah.

Pihak kelurahan tidak menampik bahwa keterlambatan bantuan yang dialami keluarga seperti Zahro dan Leni terjadi bukan karena kelalaian mereka. Kepala Kelurahan Tanjung Mas, Sony Yudha Putra Pradana, menjelaskan bahwa proses pendataan sejatinya telah dilakukan. Bahkan, dalam sistem di tahun-tahun sebelumnya, warga cukup menunggu dua pekan setelah didaftarkan untuk masuk ke daftar penerima bantuan.

Namun sejak awal 2025, terjadi peralihan sistem secara nasional yang membuat prosesnya jadi terhambat. Data warga yang telah diajukan kini tak bisa langsung diverifikasi karena terkunci dalam sistem milik Kementerian Sosial (Kemensos). “Karena sekarang sedang ada perbaikan sistem dan sistemnya ada di tingkat nasional, yaitu Kementerian Sosial. Jadi, kami di kelurahan tidak bisa mengintervensi apa pun,” ujar Sony saat diwawancarai pada Senin siang (23/6).

Dalam proses peralihan ini, Sony mengungkap bahwa banyak ditemukan ketidaksesuaian data teknis yang sepele namun berdampak besar, seperti penulisan alamat yang tidak seragam. “Contohnya Tambakrejo, ada yang ditulis nyambung, ada yang dipisah. Itu jadi masalah waktu sinkronisasi data,” sambung Sony.

Menurutnya, kesalahan administratif sekecil ejaan bisa menggugurkan hak seseorang untuk menerima bantuan sosial. Alamat yang tidak sinkron dalam sistem bisa menyebabkan seseorang hilang dari radar bantuan, meski secara kondisi sudah memenuhi semua kriteria kemiskinan.

Hingga berita ini diturunkan, status kedua keluarga tersebut di dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tak kunjung masuk ke dalam daftar penerima PKH maupun program lainnya. Satu-satunya bantuan rutin yang saat ini mereka terima hanyalah PBI JKN, yakni jaminan kesehatan yang iurannya dibayarkan oleh negara.

Persoalan ini juga menjadi perhatian Fahmi Bastian, Direktur WALHI Jawa Tengah, dalam wawancara pada 24 Juni 2025. Bagi Fahmi, pemerintah perlu segera beralih dari pendekatan karitatif yang serba instan menuju intervensi kebijakan yang menjamin keberlanjutan hidup warga pesisir.

Bukan lagi sekadar memberi bantuan sesaat namun harus membangun sistem perlindungan yang berkelanjutan. Mulai dari kebijakan untuk perlindungan terhadap ruang tangkap dan wilayah pesisir, penguatan ekonomi berbasis komunitas, hingga peningkatan kapasitas warga untuk mandiri secara sosial dan ekonomi.

Salah satu bentuk nyata dari pendekatan semacam itu adalah pembentukan Koperasi Nusantara di tahun 2024. Sebuah inisiasi kolektif yang lahir dari gabungan empat Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Tambakrejo, dengan pendampingan langsung dari WALHI Jawa Tengah. Koperasi ini dibentuk sebagai respons atas ketiadaan perlindungan ekonomi bagi keluarga nelayan dan upaya warga untuk membangun kekuatan komunal dari bawah.

 

Penulis: Rizqika Ramadhan

Penyunting: Alyanisa Lintang

Fotografer: Rizqika Ramadhan, Rikza Abiyyansa

 

Liputan ini merupakan hasil program “Media Fellowship: Jurnalis Peduli Pesisir, Jaga Urip Wong Jateng” dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Facebooktwitter
Previous Article

Mbak Nah