pekakota.or.id – Namanya Soen Ing Kiauw, tapi ia kerap disapa Cik Wat. Maka jika kita bertanya ke warga kampung Petolongan menggunakan informasi nama asli, bisa saya jamin, tidak satu pun orang yang akan tahu. Cik Wat cukup tenar di kalangan warganya. Perempuan separuh abad lebih ini memang grupyak-grupyuk. Ia bisa dikatakan agak cerewet, serta gemar meladeni obrolan warganya. Maka tak salah jika ia mudah dikenal di kalangan warganya.
Cik Wat lahir di Semarang, 22 Oktober 1947. Ia lahir dan menjalani hidupnya di di kampung Petolongan. Dari masa ke masa, Cik Wat jadi saksi perkembangan kampungnya dari masa ke masa. Usianya sudah cukup menggambarkan betapa banyak pengalaman hidupnya. Namun hambatan usia tua membuatnya tak sanggup mengingat secara persis bagaimana, misalanya, asal-usul kampungnya. Nama kampung Petolongan pun, tak sanggup ia ingat secara pasti bagaimana asal-mulanya.
Ia hanya sanggup mengingat bahwa kampungnya bersebelahan dengan penjara Belanda (kini sudah berubah menjadi kompleks perokoan THD, Agus Salim). Tak ada sedikitpun tanda-tanda pernah dibangun penjara besar di kompleks THD tersebut.
Konon, karena memang bekas penjara, kawasan tersebut jadi seperti tidak terawat, dan, orang-orang menyebutnya singub/angker. Banyak warga ketakutan ketika melintasi kawasan tersebut. Dari kabar mulut yang beredar di masyarakat sekitar, kerap terdengar suara orang minta tolong di kawasan tersebut. Maka, dari masa ke masa, entah siapa yang memulai, area kampung ini kemudian disebut sebagai Kampung Petolongan. Begitulah Cik Wat bercerita. Ia pun tak berani memastikan kebenaran cerita itu.
Sudah sepuluh tahun lebih Cik Wat jadi ketua RT, tak ada tanda-tanda bakal ada yang mau menggantikannya. Maka ia pun tak mau ambil pusing. Sambil bergurau, ia menyebut dirinya ketua RT seumur hidup, karena memang tak ada lagi yang mau menggantikannya lagi. Meski menjabat sebagai ketua RT, kini Cik Wat justru tidak tinggal di Petolongan, tempatnya menjabat ketua RT. Ia justru indekos di kampung Purwodinatan, dekat kelurahan. “Rumah saya di sana kebanjiran,” ungkap Cik Wat. Maka sambil menunggu rumahnya bisa diperbaiki, ia memutuskan indekos.
Perempuan yang semasa mudanya mengaku punya hobi menonton bioskop dan jalan-jalan ini kini menghabiskan hari-harinya dengan lebih banyak beristirahat. Ingatannya sudah lapuk. Ia sudah agak kesusahan mengingat peristiwa-peristiwa lampau. Dari sedikit ingatannya yang tersisa itulah, ia bercerita tentang pengalamannya sebagai ketua RT. Cik Wat mengaku tak mengalami banyak hambatan saat mengatur warganya. Barangkali karena kecerewetan Cik Wat inilah, warga jadi segan jika diberitahu sesuatu. Maka begitulah Cik Wat. Di masa tuanya, ia tak sekalipun keberatan menjadi ketua RT 1 RW 4. {Widyanuari EP}