“Jangan sampai Bustaman tergusur pemodal besar”
pekakota.or.id – Sikapnya tegas. Pendiriannya keras. Ia berkeyakinan, tidak ada satu orang pun yang rela kampung tempat tinggalnya tercemar. Kampung mesti dipertahankan kenyamanannya mesti harus mendapat cibiran dan pandangan miring dari warga.
Kala itu, Wahyuno beranggapan bahwa pembangunan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang dibangun di tengah perkampungan bakal mencemari kampung. Terutama bau yang bakal menguar dari tempat jagal tersebut. Ia lebih memilih pemotongan hewan diadakan di rumah-rumah, tidak terpusat di satu tempat. Ia khawatir, kelak jika RPH dibangun, perawatan dan pengelolaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang bisa berakibat sebagai penyebab bau yang tidak sedap akibat limbah sisa penjagalan kambing.
Dengan pelbagai pertimbangan, Wahyuno pada akhirnya menyetujui pembangunan RPH asalkan tidak berpotensi mencemari lingkungan. Kampung Bustaman, kampung tempatnya melewati masa kecil ini, ia jaga sepenuh hati. Kampung harus dijaga dari keadaan dan pembangunan yang dapat merusak keasriannya. Pilihan Wahyuno tepat. Meski ia sempat menolak, pembangunan RPH kini benar-benar bermanfaat bagi warga Bustaman.
Kini, bertahun-tahun setelah gesekan itu, Wahyuno justru dipercaya warga untuk menjabat sebagai ketua rukun warga (RW 3). “Gara-gara dulu saya bersikap tegas, malah ditunjuk jadi ketua RW”, ungkap Wahyuno sembari mengisap kretek beraroma menyengat. Jabatan itu pun kini kian menambah kepedulian dan kecintaannya pada kampungnya.
Setiap ada momen penting di kampungnya, Wahyuno pasti terlibat. Begitu pula ketika Pemkot hendak membangun sanitasi dan MCK umum bagi warga Bustaman, yang terletak persis di depan rumahnya Bustaman nomer 126. Ia berjuang keras meminta kepastian dari Pemkot untuk pembangunan sanimas tersebut. Hasilnya, pembangunan sanimas pun berjalan lancar.
Wahyuno menyambut gembira pembangunan tersebut. Meski ikut mengawal dalam pelbagai pembangunan fasilitas umum di kampungnya, ia tetap berkeyakinan bahwa globalisasi dan pembangunan mesti dikawal. “Jangan sampai (Bustaman—pen) tergusur pemodal besar”, tukasnya penuh semangat disertai sorot mata yang tajam.
Sebagai orang yang hidup puluhan tahun di Bustaman, wajar bila Wahyuno memiliki rasa memiliki yang erat pada kampungnya. Ia lahir dan menghabiskan masa kecil di Semarang meski ayahnya berasal dari Muntilan dan ibu dari Kudus. Wahyuno mengetahui perkembangan kampungnya dari waktu ke waktu. Lelaki kelahiran 13 Desember 1957 termasuk tokoh masyarakat yang disegani di kampung yang tenar lewat kelezatan gulai kambingnya.
Meski pernah memutuskan pindah ke Banyumanik karena tuntutan pekerjaan, di Bustamanlah kini Wahyuno menikmati hari-harinya sebagai kontraktor kecil-kecil sambil terus menjaga kelangsungan kampungnya agar terhindar dari pembangunan yang melulu bermisi komersil. Apalagi kini di Semarang pembangunan hotel dan mall terus saja terjadi. Di kampung inilah ia menikmati hari tua sekaligus melanjutkan hobi memelihara burung. Tentang hobinya ini, lelaki tamatan SMP Kartioso (sekarang SMP Purnomo), mengaku pernah menikmati pendapatan yang menggiurkan.
Burung Murai peliharaannya pernah meraih juara dalam kontes burung. Dari hobi itulah Wahyuno pernah meraup jutaan rupiah. Kini hobi memelihara burung hanya ia jadikan sebagai hiburan semata. “Sekarang sibuk ngurus kontraktor kecil-kecilan,” ungkap Wahyuno sembari kembali mengisap kretek. Aroma tembakau lokal menguar dari tubuhnya yang mulai menua. (Widyanuri EP)