pekakota.or.id – Matahari yang cerah menghiasi kawasan Purwodinatan. Aku dan Mas Bagus datang sekitar pukul 12.00 siang untuk makan siang dulu di Kampung Bustaman. Hari itu, perbaikan drainase sudah hampir selesai. Gorong-gorong selokan sudah mulai ditutup dengan beton. Anggaran untuk proyek pembangunan saluran air ini diambil dari APBD dengan jumlah Rp 49.370.000,00 dan berlokasi di Kampung Bustaman Rt 4/III dan Rt 5/III. Sambil mengamati sekitar, Aku memesan nasi sayur sop dengn lauk ayam bumbu pedas seharga Rp 7.000,00 dan memutuskan untuk duduk di bok depan mushola Al-Barokah. Mushola ini berukuran lebar 8 meter dan panjang 12 meter. Berada tepat di tengah kampung Bustaman dan kini catnya oranye muda. Kegiatan-kegiatan keagamaan rutin diadakan di situ, mulai dari pengajian akhir bulan, atau jadi tempat mengaji anak-anak tiap sore.

warga biasa menggunakan bok di emperen rumah mereka untuk tempat nongkrong, termasuk anak anak kecil
Bok tempat saya duduk ini bentuknya cukup ideal untuk berjejer sambil mengobrol dengan orang-orang kampung. Aku sendiri kini sudah ditemani 8 orang anak dengan posisiku di tengah mereka. Ada Adi, Adit, Viola, Maura, Afifa, Uwais, dan Syifa. Mereka mengenakan baju santai karena baru saja pulang sekolah. Maura sendiri menggelayutiku sambil bertelanjang kaki dan menyeruput es bonbon. Perutnya buncit karena kekenyangan. Uwais baru saja bisa mengendarai sepeda roda 4. Ia bersama seorang anak lain dari kampung Bustaman Gedong tampak semangat kebut-kebutan di jalan yang sempit. Sedangkan Syifa, baru saja dibelikan sandal baru oleh ibunya, meskipun masih tampak kebesaran di kaki Syifa, ornamen bunga plastik berwarna coklat yang menghiasi bagian atas sandal membuat gadis kecil itu tetap ceria dan percaya diri saat memakainya. Aku tertawa-tawa dalam hati.
Tugas kami hari ini adalah mencari data warnet terdekat yang sering diakses masyarakat kampung dan tempat nongkrong warga. Tanpa membuang waktu, Aku kontak Mas Bobi (24). Ia merupakan remaja kampung yang cukup dikenal dan merupakan salah satu anggota IRB (Ikatan Remaja Bustaman). Berdasarkan informasi Mas Bobi, ada 2 warnet yang sering menjadi tujuan warga saat akan mengakses internet. Yang pertama adalah Warnet Nderesan, yang kedua Warnet Bugangan. Belakangan, ada informasi lagi bahwa ada 1 warnet yang lokasinya tak begitu jauh dengan Kampung Bustaman, warnet itu berada di dekat Radio Gajah Mada.
Ada 3 titik yang menjadi tempat berkumpul warga baik remaja maupun bapak-bapak, yang pertama adalah gedung atas MCK, pos kamling, dan rumah depan Pak Sam. Warga sering berada di situ untuk berbincang tentang banyak hal. Seperti di pos kamling sendiri yang telah memiliki fasilitas televisi misalnya, dan sering menjadi tempat berkumpul bapak-bapak maupun ibu-ibu setelah selesai beraktivitas. Pos itu terletak di samping barisan kuliner di depan eks Rumah Pemotongan Hewan (RPH), sekitar 80 meter dari pintu masuk Bustaman arah Petudungan. Berdasarkan informasi dari Mas Bobi, kepemilikan gadget dengan koneksi internet di tengah warga kampung Bustaman dapat dikatakan cukup.
Setelah selesai mewawancarai Mas Bobi, Aku dan Mas Bagus melanjutkan mapping ke kawasan Bustaman Gedong dan Gedong Mulyo. Di belakangku, ada 5 orang anak yang tak mau disuruh pulang. Kadang mereka mencubit punggungku dengan sembunyi-sembunyi, berlarian terkekeh saat Aku berusaha menangkap mereka satu-satu. Akhirnya karena tak tega melihat mereka pulang saat masih semangat bermain, kami bersepakat bersama-sama menuju Bustaman Gedong. Lagi, kami melewati lorong misterius yang menghubungkan kedua kampung ini.

lorong penghubung bustaman dan pekojan tengah
Maura, dan 4 anak kecil lain ada di depan, Aku dan Mas Bagus mengikuti dari belakang. Siang itu, kampung Bustaman Gedong tampak sepi. Sepertinya orang-orang sedang sibuk tidur siang. Aku hanya melihat burung dara mematuk-matuk pakan mereka dan juga jejeran jemuran yang digantung dari rumah yang berlantai dua. Aku susuri kampung untuk menemukan remaja yang bisa saya wawancarai, tapi ternyata hampir semua remaja Bustaman Gedong sedang bekerja dan baru pulang lagi saat sore. Namun, saya beruntung karena ada kenalan Gedong Mulyo yang menjadi salah satu tim kreatif Pigura Pantes. Kami langsung menuju kesana dan menemui Mas Faruq (24).

Pigura Pantes
Saat kami menemui Mas Faruq, pemuda itu sedang memotong kayu yang menjadi bahan utama pigura menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ia tampak terampil dan cekatan. Dari apa yang kudapat setelah wawancara dengannya, ada 3 titik tempat warga Gedong Mulyo biasa nongkrong. Yang pertama adalah tempat ia sendiri bekerja, yaitu Pigura Pantes, yang kedua perempatan Gedong Mulyo dan yang terakhir adalah depan gang Gedong Mulyo. Di perempatan Gedong Mulyo sendiri, ada bok kosong yang jika malam dipakai ngumpul dan seorang warga berjualan soto. Sedangkan di depan gang, terdapat sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu orang dan menjadi penghubung kawasan Bustaman Gedong dan Gedong Mulyo.
Penamaan yang hampir mirip namun berbeda ini, digunakan orang-orang untuk memisahkan daerah masing-masing. Sedangkan untuk gadget berkoneksi internet sendiri tidak terlalu banyak dimiliki warga. Berdasarkan informasi Mas Faruq, hanya ada sekitar 3-4 orang yang memilikinya. Aku mengucap terima kasih kepada Mas Faruq setelah wawancara itu usai dan rehat sejenak untuk menulis laporan. Eh, ternyata anak-anak kecil tadi masih mengikutiku di belakang tanpa saya sadari!Aku kaget sebab mereka sudah duduk di sebuah becak warga sambil tertawa sembunyi-sembunyi, seakan berharap aku tak tahu mereka di situ. Kuhampiri, kini ada Maura, Viola, Syifa dan Afifa ditambah satu anak perempuan lagi bernama Nabila yang tinggal di kawasan Gedong Mulyo. Aku gandeng Syifa anak terkecil yang ada di grup tersebut dan mengantar mereka semua pulang ke rumah. Hari itu menyenangkan sekali karena bertemu dengan banyak anak saat mapping sehingga kerinduan cukup terobati. Di Gedong Mulyo sendiri, anak-anak kecil biasa berkumpul di daerah depan gang untuk bermain saat sore, ada yang berlarian, ada juga yang bersepeda. Semoga mapping selanjutnya akan sama menyenangkannya ya!. (Annisa Rizkiana)