“Awalnya saya sopir di Jakarta, mbak. Tapi ndak boleh pergi jauh-jauh sama anak saya, akhirnya saja usaha terpal”, begitu kalimat pembuka dari Pak Sireng (59) yang kemudian menjadi awal obrolan kami tentang usaha terpal miliknya yang sudah berjalan 15 tahun. Sebelumnya saya bertemu secara tidak sengaja dengan Beliau di Mbak Nah, penjual makanan langganan beliau. ” Saya kalau utang makan disana mbak”, Hahahahaha.
Saya disuguhi es teh besar untuk menemani obrolan siang hari ini. Selain ada Pak Sireng, saya ditemani pula oleh Mas Rudi, pegawai Pak Sireng yang gapyak. Mas Rudi yang tadinya tak berkaos tiba-tiba memakai kaos warna pink. Bersama dengan suara kipas angin dan mesin jahit kami mengobrol seputaram usaha beliau.
” Jam kerja saya itu nggak ada aturan mbak, saya kerja sesukanya. Capek tidur. Ndak ya, lanjut kerja. Saya kerja sudah dari kecil”, Pak Sireng menjelaskan betapa sejak kecil beliau sudah dilepas oleh orang tuanya untuk bekerja. Bahkan di umurnya yang baru 14 tahun, Sireng remaja sudah menyupir sampai Sumatra. Kerja keras Pak Sireng tidak mengenal wakti, apalagi saat pemilu, hari raya, perayaaan, bahkan kala musibah Pak Sireng sering kewalahan.Tiga hari, tiga malam bisa tidak tidur. Pak Sireng hanya akan meliburkan diri tat kala Idul Fitri, barang dua hari, selain itu bila sang cucu meminta jalan-jalan dengannya. Lain itu, Pal Sireng lebih dipastikan memilih pekerjaannya dan menyelesaikan tumpukan pesanan yang sudah la menanti. Meskipun Pak Sireng sudah memiliki karyawan, untuk penjahitan terpal masih dipegang ia sepenuhnya. Tidak bergerak dan menganggur konon membuat badannya lemas. Karyawannya hanya bertugas memotong, melubangi dan merapikan.
Pak Sireng sudah menerima pesanan hingga luar Jawa, Flores, Kalimantan, Bali. Harga pengiriman dan barangnya bahkan lebih besar ongkos kirimnya. Melalui Pak Sireng saya jadi tahu, bahwa terpal jenisnya begitu banyak. Dari yang biasa digunakan untuk kantong mayat, tempat untuk batu bara, tratak pernikahan, sepatu, tepak dan kerajinan lainnya, tenda dan lainnya. Harganya pun bervariasi dari mulai per meter Rp 10. 000- Rp 350.0000.
” Sebelum saya mendapat orderan sebanyak ini, saya suka jahit-jahit terpalan truk. Saya ambili dan jahit. Lama-lama mereka tahu hasil jahita saya, sekarang malah saya nggak bisa kemana-mana”, Pak Sireng menuturkan. Sebelum terjun ke bisnis terpal, Pak Sireng sudah mensurvey jumlah pengrajin terpal di Semarang yang terbilang masih sangat sedikit. ” Sekarang saja masih sekitar enam pengrajin di terpal”. Kejelian Pak Sireng melihat peluang pasar membuat ia mantap menjalankan bisnisnya. ” Sebelum punya empat karyawan seperti sekarang, yang bantuin saya yah anak dan istri. ” Untuk sistem gaji di sini memakai sistem borongan. Kalau dapat banyak ya, akan dibagi banyak kalau dapat sedikit ya sebaiknya. Jika diakumulasikan gaji yang diperoleh pegawai terpal diatas UMR Semarang.
Semangat wirausaha Pak Sireng ia tularkan pula pada istri dan kedua anaknya. Di usia yang masih muda dua anak Pak Sireng sudah memiliki usaha. Anak pertamanya menseriusi usaha plastik terpal dan tenda-tenda yang sudah jadi, kemudian untuk anak keduanya serius menjalani bisnis tratak dan terpal pula. Istri Pak Sireng sendiri membantu untuk project-project kecil seperti pesanan tempat pensil, alas plastik untuk memasak. Untuk modal awal Pak Sireng mengantongi modal Rp 5.000.000 tanpa hutang. Di awal-awal usaha Pak Sireng, beliau sempat kesusahan mendapatkan kepeecayaan selama tiga tahun. Berputar dari mulai dari Genuk, Mangkang, Sampangan, Banyumanik dan area Semarang untuk mengantar pesanana ia lakoni. Sekarang, pemesanlah yang mengambil ke tempat Pak Sireng. Tak hanya masyarakat umum yang memesan terpal di Pak Sireng, dari elit pemerintahan sampai beberapa hotel di Semarang juga memesan hasil kerajinan terpal Pak Sireng.
Nama Pak Sireng sendiri adalah bukan nama aslinya, Warno. Namun, warga lebih mengenal dengan Pak Sireng. Pun ketika ada calon pelanggan yang belum tahu tempat Pak Sireng, warga sekitar sampai tukang becak Pekojen turut mengantar, sesudahnya ada tips dari pengantar. Pak Sireng tidak tahu kapan ia akan berhenti dari usahanya. Selama tenaga masih ada dan kuat, ia akan melakoni pekerjaan yang begitu dicintainya.