24 Januari 2016
08.00 – 12.00 WIB
Dalam skala besar, kota memiliki perencanaan tata ruang, begitu pula dengan kampung. Kampung perlu memiliki banyak perencanaan dalam menata ruang hunian mereka. Seperti dalam kegiatan Urbanisme Warga, Dadang dan Rena yang merupakan anggota Gresinstitut (Bandung) sekaligus Walhi Jawa Barat memaparkan kegiatan yang telah dilakukan di dalam kampung, khususnya perencanaan Kampung Babakan Penghulu Gedebage Bandung. Pada prosesnya, Lokasi konsentrasi urbanisme warga yang dilakukan berada di 4 RW di Gedebage. Pemilihan-pemilihan tempat menjadi suatu akses dalam pertimbangan. Oleh karena itu ke-4 RW yang berada di Gedebage dirasa cukup memungkinkan karena masyarakat sudah cukup familiar sejak 2011 dengan komunitas.
Kawasan RW 5 merupakan wilayah terdekat dengan Bandung Teknopolis yang beredar isu akan tergusurnya wilayah oleh proyek tersebut. Rencana-rencana kota yang menunjukkan gambar pada presentasi rencana pembangunan Teknopolis dan Sumarecon Bandung, Gelora Bandung lautan api. Tentu berbagai permasalahan akan muncul ke permukaan akibat dampak dari adanya pembangunan gedung tinggi, khususnya impact yang akan diterima oleh warga sekitar. Masalah-masalah pada lingkungan permukiman menjadi krusial: seperti pengolahan air limbah, persampahan, serta drainase air.
Kampung ini merupakan kampung pinggiran yang memiliki tingkat kepadatan tinggi dengan kondisi pendidikan penduduk dominan pada lulusan SLTP. Permasalahan air limbah menjadi problem yang sedang meraka alami hari ini, bagaimana mengatasi permasalahan limbah di lokasi tersebut. Masyarakat berusaha membuat pengelolaan air limbah komunal. Lokasi tersebut sangat sering terkena banjir yang dikarekanan elevasi lokasi. Kemudian hadir pula MCK yang dibangun pertamina di atas kali. Sedangkan apa yang dilakukan pemkot untuk mengatasi banjir di Gedebage dengan pembuatan tabir bandung, yaitu semacam tabung besar yang akan menampung air. Masyarakat belum paham mengenai maksud rencana pemerintah kota, keinginan mereka hanyalah memperbaiki infrastruktur saluran, untuk memperlancar air. Sementara ini mereka memang belum tergusur, namun bila flyover terbangun maka sebagian kampung akan hilang.
Oleh karena itu apa yang dilakukan teman-teman Gres Institut adalah berjalan-jalan menyusuri kali yang melewati kampung tersebut. Mereka melihat dan berbincang face to face dengan warga sekitar. Mapping yang dilakukan berikut juga FGD akan potensi dan masalah 100 KK melayani 1 IPAL komunal yang dibuat di jalan utama kelurahan, karena gang permukiman sangat kecil. Tujuan dari mapping itu sendiri adalah untuk membuat narasi warga, melalui peta kampung yang nanti menjadi milik mereka, karena bagi mereka (masyarakat lokal) tahu anggota kelompoknya tetapi belum tentu mereka menyadari. Kondisi mapping ini di lakukan di lokasi yang jauh dari kota, jadi definisi soal ruang publik ataupun batasan lahan, bukan menjadi masalah. Teman-teman peneliti mencoba menahan diri untuk mengeluarkan ide gagasan, tujuan mapping untuk membuat narasi warga sebelumnya. Kenapa setiap kampung perlu membangun narasinya itu sendiri, karena bila mereka tidak membangun narasi akan ada pihak lain yang akan membangun narasi untuk kawasan-kawasan tersebut, sebagai contoh adalah Komunitas Kandang Gunung di Nongkosawit, Semarang, mencoba membangun narasinya, komunitas mencoba melakukan rekonstruksi sendang. Pemahaman mereka mengenai fungsi sendang di masa lalu dan masa yang akan datang adalah sebuah narasi..
Kegiatan Gres Institute diawali dengan kick off meeting, mengenalkan dengan Kelurahan, Kecamatan, warga, dll. Pembentukan tim perencanaan partisipatif, dengan fasilitator dari Gres Institut., kemudian dilanjutkan dengan pemetaan partisipatif. Dalam kegiatan ini sudah mulai terlihat masalah dan potensi yang ada dalam kampung. Misalnya kebudayaan benjang seperti kuda lumping masih terjaga, hingga mereka ingin mempunyai sanggar kesenian. Lalu juga survey kampung yang dilakukan bersama warga / transect. Hampir 90% warga tidak punya septictank. Biasanya mereka langsung dibuang ke saluran drainase, yang menimbulkan bau sangat menyengat. Upaya pengelolaan air limbah oleh pemkot pun masih lemah. Tidak terlihat bagaimana keseriusan kota dalam membenahi aspek tersebut.
Lokasi Gedebage sangat rentan dengan banjir. Sungai yang ada penuh dengan sampah, bahkan airnya tidak terlihat. Namun lahan ini menjadi rebutan dengan PT. KAI karena dekat dengan rel kereta. Kabarnya juga beredar pusat pemerintahan kota Bandung yang direcanakan akan di pindah di Gedebage mendekati kawasan teknopolis. Kabar tersebut dikuatkan dengan dukungan hotel tinggi yang sudah mulai di bangun. Keberadaan RTRW diubah seenaknya oleh pemerintah kota ataupun investor. Gedebage awalnya memang lahan pertanian yang menjadi permukiman dan kawasan industri non polutan. RTRW diubah tanpa persetujuan anggota dewan. Walhi Jabar terlibat dalam RTRW kawasan Bandung Utara, dimana pertanian ingin dihilaangkan. Awalnya masyarakat adalah petani atau petani penggarap, hingga belum dipikirkan masa depannya. Belum ada rencana relokasi akan dimana
Maka dari itu, tindak lanjut yang dilaksanakan oleh teman-teman adalah dengan menganalisis permasalahan secara partisipatif. Mereka duduk bersama dan berbicara dengan warga kampung untuk dapat bergerak saling membantu. Kemudian adalah diskusi penyusunan draft model perencanaan kampung dimana kemudian terbentuk timeline kampung tentang cerita-cerita kondisi kampung hingga finalisasi dokumen yaitu mengundang pakar perencanaan kota. Tidak kurang warga mengundang pemerintah dari pemkot untuk ekspose, sekaligus menantang walikota untuk hadir di kampung ini. Yang dilakukan demi menyelamatkan kampung mereka pun juga harus dengan mengadvokasi. Mengadvokasi untuk kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan secara individu dengan menggunakan bendera yang cukup netral sehingga dapat masuk dalam lingkaran kepemerintahan kota.
(Disarikan Tim FKMD II dari pertemuan yang diampu Dadang & Rena dari Gres Institute dan Walhi Jabar)