Resume FKMD II : Kesan Tilik Bustaman

Sabtu, 23 Januari 2016

20.30 – 00.00

(Sony G)

Memasuki hari ketiga dalam acara utama FKMD II: Urbanisme Warga para peserta diajak berkeliling ke kampung-kampung.  Ada 4 kampung yang menjadi tujuan yakni Kemijen dengan isu penurunan tanah, Petemesan dengan isu kerentanan kampung kota, dan Nongkosawit dengan isu resapan daerah atas, dan terakhir Kampung Tapak, Tugurejo dengan isu konservasi mangrove dan isu reklamasi pantai. Selama setengah hari para peserta bebas memilih masing-masing kampung dan hasilnya didiskusikan di Balaikota selepas makan siang.

Setelah penat akan kegiatan yang menguras otak dan tenaga, pada malamnya mereka disuguhi keramahan warga, makanan, dan acara di Kampung Bustaman. Bustaman merupakan wilayah yang berada di Jln. MT. Haryono Semarang, yang jika tidak dilihat dengan saksama akan terlewatkan dikarenakan daerah tersebut dikelilingi kampung-kampung kecil. Namun ada yang memikat dari Bustaman, yaitu kampung yang terkenal di Semarang karena olahan kambingnya. Kampung Bustaman tergolong wilayah yang sempit namun memiliki penghuni yang sangat banyak di dalamnya, yaitu sekitar 330 jiwa tinggal di Bustaman. Profesi warga Bustaman di dominasi oleh masyarakat yang berkaitan dengan kambing, mulai dari penjagal kambing hingga membuat berbagai olahan kambing seperti gule kambing, sate kambing, bestik kambing, dan sebagainya. Dapat dibayangkan betapa ramai dan penuhnya kampung tersebut. Hal yang patut disaluti adalah mereka memiliki kekompakan yang sangat hebat terhadap  acara tersebut sehingga banyak ide-ide muncul dari warga sendiri. Para  tamu pun merasakan ciri khas dari Bustaman. Kolektif Hysteria dan warga Bustaman bekerjasama dalam menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi para tamu dari 8 kota. Berbagai ide tentang dekorasi kampung, pertunjukan, diskusi warga, souvenir hingga kuliner yang akan disuguhkan pada peserta didiskusikan dengan sangat matang sehingga mampu membekas dalam benak peserta 8 kota. Di puncak acara kegiatan bertajuk Tilik Kampung Bustaman ini dipungkasi oleh Wayang Kampung Sebelah (Solo) dan Pyong-pyong (Semarang) dan berhasil menghibur masyarakat Bustaman juga para tamu dari pegiat Urbanisme Warga dari 8 kota.

Acara yang berlangsung pada pukul 19.00 WIB hingga tengah malam ini juga menampilkan hasil fotografi warga, mimpi-mimpi kampung oleh warga dan kulineran Bustaman. Sebelum memulai acara, para peserta di sambut dengan olesan bedak dingin yang diusapkan di wajah sebagai tanda ucapan selamat datang oleh warga kampung Bustaman, tentunya warga Bustaman sendiri sudah mencorat-coret wajah mereka sebagai wujud kekompakan mereka, setelah itu tamu akan diberikan souvenir sederhana namun menunjukkan ciri khas mereka berupa bumbu galian kambing asli Bustaman sehingga para tamu dapat merasakan bumbu olahan asli dari Bustaman ketika kembali ke kota masing-masing. Sembari berjalan menyusuri kampung, di sepanjang tembok terdapat beberapa foto-foto yang melambangkan Kampung Bustaman, dan kuliner hasil olahan Kampung Bustaman telah menunggu peserta dari 8 kota. Setelah itu, warga Kampung Bustaman menceritakan bagaimana sejarah kampung mereka dan apa rencana mereka pada tahun 2025 mendatang kepada tamu 8 kota selama 1 jam di salah satu rumah warga Bustaman. Kemudian para tamu diajak lesehan di depan sebuah panggung kecil di ujung jalan Bustaman yang berdekatan dengan sanimas milik Bustaman dan disuguhkan dengan pertunjukan musik dari band asal Semarang yaitu Pyong-Pyong, dengan alunan musik akustiknya mampu membuat penonton menikmati penampilannya. Pada pukul 20.30, Wayang Kampung Sebelah dari Surakarta mulai menghibur penonton yang ada di Bustaman.

Ajak Peduli Lingkungan

Wayang Kampung Sebelah mulai terbentuk pada tahun 2000 yang terdiri dari sekelompok seniman Surakarta dengan melahirkan genre wayang baru. Wayangnya yang terbuat dari kulit tidak dibentuk seperti wayang-wayang tradisional namun dibuat lebih modern dengan bentuk manusia berdasarkan tokoh-tokoh kampung yang plural, terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pak RT, pak Lurah, penyanyi, hingga pejabat besar kota. Penciptaan pertunjukan wayang yang bermula dari keinginan membuat format pertunjukan wayang yang dapat menjadi wahana untuk mengangkat kisah realitas kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang tradisional. Bahasa yang digunakanpun sesuai dengan percakapan sehari-hari, baik menggunakan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia sehingga diharapkan pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap oleh penonton. Isu-isu actual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan menjadi inspirasi cerita untuk pertunjukan. Dalam pertunjukannya pun dengan persoalan-persoalan serius namun tidak secara langsung diungkapkan dengan serius pula. Wayang Kampung Sebelah mengemas muatan sinisme hingga kritikan tajam dengan segar penuh humor melalui alur, penokohan, dialog maupun syair lagu iringan. Iringan lagu tidak menggunakan gamelan, tetapi menggunakan iringan musik band secara keseluruhan, tentu masih menggunakan sinden. Lagu-lagu iringannya lebih banyak menyajikan lagu-lagu karya cipta musisi Wayang Kampung Sebelah sendiri untuk memperkuat karakter pertunjukan. Dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah, kisah di depan layar bukanlah semata-mata milik dalang, pemusik maupun penonton memiliki kebebasan untuk nyletuk menimpali dialog maupun ungkapan-ungkapan dalang. Dalam setiap adegan sangat dimungkinkan berlangsungnya diskusi antara tokoh wayang, dalang, pemain musik, maupun penonton.

Dalam kesempatan tersebut, dalang Wayang Kampung Sebelah, Jlitheng Suparman mengajak penonton untuk berdiskusi tentang kebersihan lingkungan dengan ajakan untuk membuang sampah pada tempatnya tidak terkena dampak banjir.  Wayang Kampung Sebelah mengajak masyarakat Bustaman untuk ikut berpartisipasi dalam memecahkan isu lingkungan yang mereka hadapi. Walaupun dengan guyon, penonton mampu memahami pesan yang disampaikan agar tidak membuang sampah di sungai, tidak menebang pohon, agar kampung mereka tidak terkena bencana yang tentunya akan merugikan mereka. Penampilan Wayang Kampung Sebelah yang berdurasi kurang lebih 2,5 jam, warga dan para pengunjung dibuat takjub dan terpingkal-pingkal dengan humor yang di balut pesan pada masyarakat. Meskipun pertunjukan hingga tengah malam, penonton masih tetap antusias melihat pertunjukkan mereka bahkan warga kampung Bustaman tetap bertahan hingga pertunjukan tersebut berakhir.

Facebooktwitter

Leave a reply