Tanggal 30 Januari 2016 lalu, pekakota forum 11 bertempat di Angkringan Kawan Kita, Kompleks TBRS, Jalan Sriwijaya No. 29 digelar. Dengan tema diskusi Desa-Kota, Hulu-Hilir. Pemaparan tentang pentingnya desa kota / kampung kota di Semarang yang memiliki dua varian dataran rendah yang mana memang dekat dengan laut dan dataran tinggi yang dilengkapi bukit-bukit. Menjadi penting hadirnya kampung bagi kota karena kespesifikasikannya atau ciri khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Dari proses terbentuknya yang organik di mana tumbuh karena kebutuhan masyarakat. Dosen dari Planologi Unissula, Mila Karmila menyampaikan, “Kampung kita itu memang sangat organik, mungkin juga karena memang ada urbanisasi yang masuk dari desa, sehingga muncullah berbagai kampung-kampung yang sudah ada terlebih dahulu atau yang baru. Tapi pada prinsipnya kampung itu bentuknya organik, jadi ada sebelum pemerintahan yang lalu. Yang ingin saya katakan bahwa kampung itu spesifik, unik, dan bukan hanya terkait dengan bagaimana masyarakat hidup di dalamnya lalu mengelola kondisi sarana prasarana,” ujarnya. Bentuk perkembangan kampung yang lebih ke arah organik dibandingkan geometri yang terencana mendorong terciptanya kekhasan dalam banyak hal, misalnya dalam ketahanan menghadapi bencana yang memang tanpa disadari masyarakat kampung lebih solid daripada bentukan hunian yang lain. Seperti tambahan tuturan Mila Karmila, “Bahwa secara sistem sosial, kampung itu mempunyai kohesi, sistem kekeluargaan yang cukup kuat. Mereka pasti kalau ada yang satu sakit, pasti semua bukan hanya satu RW mungkin, tapi satu kelurahan pun akan tahu siapa sih yang kita cari. Berbeda mungkin dengan kita datang ke perumahan, kita nanya orang pasti nanyanya harus ke satpam, tidak boleh bertanya ke orang lain selain satpam karena pasti tidak akan ada. Nah, itu yang harus kita pertahankan sampai sekarang, bahwa ada yang harus dipertahankan tentang kondisi kampung.”
Kampung sejujurnya adalah bagian dari kota yang harus mendapat tempat di dalam perencanaan kota itu sendiri. Namun akhir-akhir ini melihat begitu banyak kampung yang mendapat tempat terancam di perencanaan kota ke depan. Dalam diskusi malam lalu Karman, anggota Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menuturkan bahwa memiliki database di tahun 2015 itu ada 1.352 kampung yang hilang. Bahwasanya kampung itu hilang karena memang tarik ulur kepentingan modal. Karman juga berpendapat tentang pentingnya kearifan lokal bagi eksistensi kampung di masa depan, “Di wilayah Tapak, Tugurejo itu rumahnya cukup bagus tetapi kalau kita teliti lebih jauh, kenapa ya rumahnya meningkat begitu bagus.. itu bukan karena sumber-sumber produk perikanan di situ yang kemudian meningkatkan nilai-nilai ekonomi mereka, tetapi perempuan yang terpaksa menjadi TKI. Itu bisa dicek nanti. Itu bisa membantu secara ekonomi. Nah ini perubahan kultur budaya bahari. Perempuan yang dahulu luar biasa punya akses terhadap sumber-sumber kelautan dan pesisir, tetapi karena ancaman modal dan ancaman dari luar, terpaksa eksistensi mereka hilang. Banyak juga yang misalnya ditemukan di Tapak itu sudah banyak yang menjual perahu, sekarang bukan identitas mereka sebagi nelayan tetapi mereka sebagi pekerja atau buruh di sekitar industri-industri tersebut. Nah ini perubahan-perubahan kultur budaya bahari mereka.”
Penting bagi seluruh komponen kota untuk peduli akan kampung kota baik yang bertempat di hulu maupun hilir untuk merencanakan strategi ke depan. Kepedulian itu bisa didekati dengan berbagai macam pendekatan dan latar belakang kelilmuan. Bagaimana unsur historis suatu kampung dapat melengkapi ragam wajah kota sehingga semakin berwarna. Seperti dalam ungkapan Adin selaku Direktur Hysteria bahwa masa depan suatu kota tidak bergantung dari pintar tidaknya orang-orang, tapi tergantung pada berapa banyak orang yang peduli. Dan apabila tidak ada lagi masyarakat yang peduli, maka akan semakin banyak masyarakat yang menjadi korban, seperti kampung kota yang dimakan pembanguan yang semakin menggerus. Maka pada akhirnya identitas kota akan hilang juga. (Ndang)