Sebuah usaha turun temurun adalah cita-cita yang mungkin tidak terpikirkan di awal ketika seseorang memutuskan untuk melangkah meniti dunia berdagang.
Diawali dari sebuah ucapan seorang ibu dilema memilih antara pekerjaan dan menjaga anak, sebuah keputusan pun dipilih keluar dari pekerjaan untuk menjaga anak tercinta. Cik Qom, begitu ia disapa oleh warga Bustaman dan sekitarnya. Seorang warga asli Bustaman yang pertama menjajakan gulai kambing di khalayak. Tak pernah terpikir sebelumnya bagi Cik Qom bahwa usaha yang digelutinya selama berpuluh tahun menghantarkan Cik Qom menjadi salah satu penjual gulai kambing yang paling diminati di Bustaman dan warga Semarang secara umum.
Bumbu gulai kambingnya sendiri ia dapatkan dari sang ibu yang merupakan warga Bustaman yang sejak ia kecil sudah membantu ibu memasak, menerima pesanan dari orang. “ Saya hidup sejak kecil sudah kerja keras mbak “, terang Cik Qom, pandangannya menerawang. “ Saya anak perempuan tertua ibu, jadi saya terbiasa bantuin ibu sejak kecil, dari mulai mencuci baju, dan pekerjaan rumah tangga lainnya termasuk memasak.
Awalnya Cik Qom tidak langsung berjualan gulai, jajanan pasar adalah prodak pertama Cik Qom yang pertama dijajakan. Sampai kemudian gulai kambinglah yang ia geluti sampai kini. Awalnya Cik Qom berjualan sambil dipikul, namun karena dirasa memberatkan sambil berjalan keliling, ia pun memutuskan membeli gerobak dari seorang yang dikenal. Sampai kini gerobak itu menjadi icon dari gulainya dan termasuk gerobak gulai terpenting dan tertua di Bustaman. Bahannya sendiri beberapa bagian dari kayu jati, sehingga lebih berat dari gerobak pada umumnya.
Dulu Cik Qom berdagang sendiri, sedang suaminya berprofesi menjadi supir. Karena usia dan semakin sepinya penumpang, sang suami pun memutuskan untuk bersama-sama Cik Qom menggeluti dunia dagang gulai. Cik Qom memiliki empat orang anak, namun pada bungsunyalah “ Fandy “ Cik Qom berharap usaha gulai yang dirintisnya, diterusakan oleh sang bungsu. “ Fandy masih sering bangun siang kok mbak, belum bisa ikutan masak”, Cik Qom menarik topi Fandy ke bawah. “ Penginnya Fandy yang meneruskan mbak, apalagi dia bungsu, laki-laki “. Cik Qom meneruskan perbincangannya mengapa ia mendorong Fandy untuk menjadi pedagang seperti dirinya. Dengan pengalaman dalam beberap kurun waktu menjadi orang yang ikut majikan, sungguh tidak enak bagi Cik Qom. Terutama masalah waktu sangat tidak bebas. Namun, jika memiliki usaha sendiri biarpun datangnya rejeki kadang sedikit, kadang banyak, kita tetap menjadi bos dan lebih bebas atur waktu.
Saya sendiri memilih untuk mendengarkan Cik Qom dan mengamati Fandy. Kadang-kadang saya ikut menjadi kompor agar Fandy serius membantu ibunya. Saat ini Fandy sudah memerankan perannya dalam mempersiapkan gulai kambing racikan ibunya. Fandylah yang berbelanja untuk semua bahan gulai di pasar, pun mengupas bawang merah dan bawang putih yang menjadi salah satu bumbu penting dalam gulai bustaman. “ Pelan-pelan ngomongin Fandy mbak, tapi saya percaya Fandylah yang pada akhirnya meneruskan usaha gulai ini”, Kata Cik Qom mantap. Obrolan kami sore itu diakhiri dengan saling mendoakan kesehatan.