Bisa jadi, Yudo Ikminto adalah salah satu sesepuh warga yang menyaksikan perubahan kampung Malang, juga Kelurahan Purwodinatan, sejak masa pasca-kemerdekaan (1950-an) hingga sekarang. Yudho lahir pada tanggal 14 April tahun 1941. Sejak kecil, hingga kini di masa tuanya, Yudho menetap di rumah yang sama di Jalan MT Haryono Nomor 23-25 Semarang. Maka jangan heran bila berbincang-bincang dengannya, memori sejarah kota Semarang tempo dulu bakal keluar berhamburan dari ingatan masa kecilnya.
Yudo antusias mengisahkan perjalanan hidupnya. Apalagi kini di hari tuanya, Yudo tak banyak melakukan aktifitas berarti. Kesehariannya kini dihabiskan dengan berkumpul bersama teman-temannya. Tak jarang, ia menyanyi bersama dan berolahraga demi menjaga kesehatannya. Sedangkan ketujuh anaknya kini sudah menapaki jalan kesuksesannya masing. Ada yang kini menetap di Hongkong, Australian, juga Malaysia. Yudo bangga bisa menyekelohkan anaknya hingga jenjang tertinggi, dan kini hidup berkecukupan, bahkan, hingga di negeri orang.
Yudo nampak bersemangat ketika diajak berbicara tentang masa lalu daerah sekitaran MT Haryono dan Purwodinatan. Ia mengenang masa-masa saat di tepian jalan MT Haryono, atau tepatnya di depan rumahnya persis, konon katanya, aliran kali masih terlihat begitu bening. Kali yang memanjang dari arah Tugu Muda, Kampung Kali, sampai jalan MT Haryono itu kerap dijadikan tempat mandi oleh Yudo dan teman-temannya.
Lambat laun kali tersebut ditutup menggunakan kayu jati. Hingga sekarang kali tersebut telah ditutup dan digunakan sebagai pedestrian. Sedangkan saluran air di dalamnya tidak sekali pun dikeruk. Alhasil, setiap hujan turun, belum lagi lama, air pasti meluber. Banjir menggenang jalanan, dan tak jarang masuk ke dalam rumah.
Maka baginya, dengan menjabat sebagai ketua RT 6 RW 4, harapan satu-satunya adalah, ia bisa mengajukan usul ke kelurahan supaya dilakukan pengerukan di rumahnya. Sudah sepuluh tahun Yudo memimpin. Dan, impiannya itu belum memberi pertanda akan terwujud. Suami dari Erni Sumar ini kerap menyesalkan mengapa kondisi infrastruktur di kampungnya, terutama infrastruktur di seputaran Semarang tak pernah dibangun dengan nalar pencegahan.
Padahal menurutnya hal tersebut sangatlah penting. Apalagi kian hari banyak warga di RT-nya, yang memang mayoritas berada di pinggir jalan, berusaha meninggikan jalan depan rumahnya secara pribadi. Maka niatan untuk mengeruk dasar kali pun tak tersentuh.
Meski demikian Yudo tak mau begitu saja pasrah. Yudo masih sesekali mengusulkannya ke kelurahan. Sebenarnya, Kampung Malang, apalagi Purwodinatan, sangat berutang budi kepada Yudo. Bagaimana tidak, di rumahnyalah yang tergolong sangat luas dan memiliki halaman yang luas pula, pemilu dari tahun ke tahun selalu diadakan di rumahnya. Sejak era Soeharto hingga Jokowi, pemilu selalu diadakan di sana. Yudo tak pernah merasa keberatan, apalagi meminta bayaran.
Sebagai rumah warisan orang tua, Yudo tak ingin rumahnya hanya menjadi pelengkap saja. Maka ketika ada event pemilu diadakan di situ, Yudo sama sekali tak keberatan. Rumah ini juga memiliki kisah yang panjang. Pada era jaman Jepang, rumahnya pernah kena amuk perang. Hampir sebagian besar bagiannya dibakar oleh tentara Jepang. Setelah perang usai, dengan usaha yang tak sederhana, orangtua Yudo mengupayakan renovasi kembali rumahnya. Hingga kini, bentuk asli rumahnya masih bisa kita lihat.
Yudo adalah satu di antara sedikit warga sepuh Purwodinatan yang masih sehat hingga kini. Baginya, pembangunan demi kepentingan masyarakat adalah yang utama. Orangtua yang begitu mengidolakan Gubernur Ahok ini selalu mengimbau agar dana pembangunan kampung jangan sampai diselewengkan. Kalau sampai terjadi, ia tak segan-segan mengundang KPK, ungkap Yudo dengan sedikit tertawa namun serius. [Widyanuari Eko Putra]