Mengenang dan mengingat cerita-cerita masa lalu menjadi sebuah hal berharga bagi sebagian orang. Apalagi jika masa lalu itu mengingatkan pada masa-masa yang telah berubah dan berbeda. Di kampung cerita sering kita dengar dari warga-warga yang telah lama tinggal di kampungnya. Sama halnya di Karangsari, sekali lagi mendengar kisah tentang pengalaman tinggal dikampung dari seorang wanita yang masih sehat meski usianya telah mulai renta. Warti merupakan seorang wanita asli Wonogiri yang menikah pada tahun 1971. Ia diajak pindah oleh suaminya yang seorang apoteker pada tahun 1974.
Kisah ini hanyalah secuplik cerita dari Warti tentang bagaiman ia dan penduduk lainnya berupaya memenuhi kebutuhan keluarganya akan sumber daya paling penting dalam kehidupan yakni air. Saat Warti dan keluraganya menjadi salah satu keluarga yang tinggal di sebuah kampung tanpa nama dan status kala itu, masih sangat sedikit penduduk dan tidak ada satu pun akses terhadap air. Warga hanya bisa memanfaatkan air sisa dari mesin diesel milik SPD 2 (sebutan warga) sebuah pabrik pemintal benang dan kain. Setiap dini hari Warti dan warga lain mengambil air di SPD 2. Air yang masih begitu panas akibat pembakaran mesin mengisi kendi-kendi warga. Sampai dirumah, air panas tersebut didiamkan agar mendingin, dan bisa digunakan baik untuk mandi, memasak, mencuci, bahkan untuk minum. Saking panasnya air sisa mesin ini, meskipun diambil sejak dini hari sebelum subuh, hingga sore hari pun air ini masih belum benar-benar dingin. Bertahun-tahun warga memanfaatkan air sisa tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Hingga kemudian di akhir tahun 70 an pemilik pabrik mengetahui bahwa warga di sekitar pabriknya memanfaatkan air limbah mesin, sehingga dengan rasa iba pemilik pabrik tersebut memberikan air bersih dengan pipa untuk warga, meski saluran pipa tersebut cukup jauh dari rumah warga, dan warga pun sering mengambil air tersebut sejak pukul 01.00 dini hari untuk antri mendapatkan air bersi tersebut, meskipun tidak banyak yang bisa di dapat yakni 2 kali pikulan dengan 2 ember disetiap pikulannya, setidaknya air ini bisa digunakan untuk air konsumsi, dan air limbah digunakan untuk mencuci. Dalam keterbatasan akses terhadap air tersebut, banyak cerita yang menunjukkan betapa sulitnya kondisi warga saat itu, bahkan Ibu Warti pernah terpatok ular saat mengambil air di SPD 2 karena memang lokasinya yang masih banyak belukar dan rumput liar. “dulu itu saya pernah sampe kepatok ular kaki saya mbak, yang jempol ini. Ya wajar dulu kan masih banyak kebun dan di SPD 2 itu ya juga masih rungkut mbak”, ungkapnya saat ditemui dirumahnya (03/10/2017).
Beberapa waktu kemudian kondisi berbeda ketika pabrik mulai dibangun pagar bumi. Dan akses masyarakat terhadap air pun kembali terbatas. Warga sempat membuat sumur galian dengan kedalaman 42 meter, dan sumur itu juga sempat dipakai secara bersama. Setelah kampung semakin ramai dan Kampung Karangsari diremsikan air PDAM mulai masuk, namun itu pun masih satu. Sehingga warga masih antri karena, tak jarang antar warga saling berselisih untuk mendapatkan air ini. Hingga kemudian, PDAM masuk dan menawarkan penyaluran air. Warga harus membayar 50 ribu untuk uang muka, dan 50 ribu setiap bulan selama 2 tahun untuk biaya pemasangan. Sejak tahun 2000 an, salah satunya di RT 4 Kampung Karangsari ini masyarakat mengajukan bantuan sumur artesis, dan dengan proses yang cukup panjang juga akhirnya sumur artesis itu dibangun.
Kini warga dapat mendapatkan akses air dengan mudah. Kisah ngangsu banyu kemudian kini hanya menjadi cerita dari para orang tua kepada anak-anak muda. Dan menjadi bagian sejarah peradaban yang terus berkembang di Kampung Karangsari.